Penulis: Misbahul Munir*
Alkisah, ada seorang muadzin bersuara jelek. Ia ingin sekali mengumandangkan adzan. Teman-teman di sekitarnya menasehati agar ia tidak melantunkan adzan. Mereka khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena mereka tinggal di tengah-tengah mayoritas bukan muslim. Namun, si muadzin besikeras melakukannya karena adzan itu perintah agama. Tak ada yang bisa menghalangi orang untuk kewajiban agamanya. Akhirnya, lantunan suara adzan yang memuakkan telinga pun terdengar ke mana-mana.
Dampak dari adzannya, seorang non-muslim tiba-tiba hadir di tengah-tengah jama’ah kecil itu sambil membawa jubah, lilin, dan manisan. Ia bertanya-tanya mencari si tukang adzan. Semua jama’ah terdiam sambil menyesali perbuatan si muadzin. Dalam kecemasan yang memuncak, tiba-tiba saja satu kalimat terlotar dari mulut non-muslim yang datang itu, “Tunjukkan kepadaku nama tukang adzan yang telah membahagiakan hati itu!” sembari bernafas lega, salah seorang jama’ah menyahut, “ Kebahagiaan apa yang engkau peroleh dari adzan yang tak sedap itu?”
(Baca juga: bekerja keraslah karena hidup itu keras)
Non-muslim itu bercerita; “Aku mempunyai seorang anak gadis. Telah lama dia ingin menikah dengan seorang pemuda muslim. Untuk itu, dia telah mempelajari agama Islam sebagai bekal hidup bersama pemuda itu. Dia berkeinginan kuat untuk menyatakan masuk Islam. Tetapi, ketika mendengar suara adzan itu, dia bertanya kepada kami, “ Suara apa itu, Ayah? Aku tidak pernah mendengar suara sejelek itu!” Aku jawab, “ Itu suara orang Islam memanggil orang yang beribadah”. Sejak itu dia tidak tertarik lagi untuk masuk Islam.
Maka aku sangat bahagia atas sikapnya. Selama ini kami dibuat susah tidur oleh anak gadis kami itu. Sekarang kami tenang dan sangat senang. Tiada kebahagiaan yang lebih dari ini. Karena itu, tunjukkan kepadaku mana si tukang adzan itu! Aku akan meberinya hadiah-hadiah ini, dan kalau aku memiliki banyak harta aku akan memberinya sabagai hadiah”.
Lewat kisah parodi itu, Jalaluddin Rumi berpesan, kita dapat menegakkan ajaran Islam seperti menyuarakan adzan, bisa indah, bisa buruk. Kita dapat menampilkan Islam yang lembut dan merdu, bisa pula yang keras dan menakutkan. Cara kita mengamalkan ajaran Islam akan mempengaruhi sikap orang lain terhadap Islam.
Nabi Muhammad SAW diutus untuk tidak lain kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. 21: 107). Dengan kata lain, misi utama Islam adalah mewujudkan tata kehidupan yang disemangati nilai-nilai kerahmatan. Seperti apa suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai kerahmatan itu? Manjadi seorang muslim tidak secara otomatis akan menjadi penebar rahmat, maka bagaimana caranya agar kehidupan mereka memancarkan nilai-nilai kerahmatan itu?
Karena pentingnya, kata rahmat dengan segala definisinya diulang lebih dari 90 ayat dalam Al-Qur’an. Arti asalnya adalah kelembutan hati dan kecenderungan untuk memaafkan orang lain dan berbuat baik (ihsan) kepada mereka. Rahmat juga bermakna kebaikan universal (khair) dan anugerah/kenikmatan.
Kita menerjemahkannya menjadi kasih sayang. Sebagai perwujudan kasih sayang Allah kepada manusia, ajaran Islam mesti disemai dan ditegakkan dengan prinsip kasih sayang.
Pertama, kasih sayang tidak membuat orang lain marah, takut dan terhina. Kasih sayang justru mengangkat martabat orang lain dan membantu mewujudkan potensi terbaiknya dalam kehidupan. Inilah inti dari iman dan Islam, sebab seorang mukmin kata Nabi adalah orang yang membuat orang lain hidup aman atau tidak terganggu, nyawanya dan hartanya, sedangkan seorang muslim adalah orang yang membuat orang lain selamat dari tindakan yang menyakiti baik dari ucapan lidahnya maupun karena tindakan tangannya.
(Baca juga: cara berhijab yang baik sesuai syariat islam)
Meskipun bertekad dan berkeinginan kuat untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, Rasulullah tidak memaksa-maksa. Apalagi menempuh jalan kekerasan. Sebab, cara kasar dan kekerasan tidak akan menghasilkan apa-apa, selain rasa enggan bahkan kebencian. Jika muncul persoalan, konflik, atau ketegangan antar warga masyarakat, Islam menganjurkan dialog dan musyawarah untuk menyelesaikannya. “maka disebabkan rahmat (kasih sayang) dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berjati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (QS. Ali Imran [3] : 159).
Kedua, kasih sayang yang sama sekali berbeda dengan tidak tegas, lembut bukan berarti lembek. Orang mengasihi justru bertindak tegas agar orang yang dikasihi sadar akan kesalahannya. Sejarah mencatat bagaimana Nabi SAW memberikan contoh perilaku dan kelembutan dalam bergaul disertai ketegasan dalam menegakkan aturan.
Namun, tindakan tegas bukanlah kekerasan yang dilandasi kebencian, melainkan tindakan yang bernafaskan kasih sayang. Dikisahkan, adaorang yang terperosok ke dalam sebuah dosa sehingga dia dicaci maki oleh orang-orang disekitarnya. Ia pun mesti dijatuhi sanksi. Abu Darda’ RA mengingatkan mereka atas hal itu, “Aku ingin tahu pendapat kalian, seandainya saudaramu ini kalian temukan terperosok ke dalam sebuah kawah , apakah akan kalian biarkan saja?”. “Tentu tidak”, jawab mereka. “Kalau begitu kalian jangan mencacinya. Tolong dan bantulah dia menjadi orang baik, dan jangan lupa pujilah Allah karena telah menyelamatkan dari dosa yang telah diujikan kepadanya”. “Memangnya anda tidak membencinya, wahai Abu Darda’?” tanya mereka. “Sama sekali tidak. Yang aku benci itu hanyalah perbuatan buruknya. Jika ia meninggalkannya, berarti dia adalah saudaraku” jawabnya.
Ketiga, mewujudkan tata kehidupan yang menjamin dan melindungi hak-hak warga seadil-adilnya tanpa membedakan unsur-unsur primordial apapun, baik etnis, warna kulit, agama, gender dan sebagainya. Rahmat ibarat payung, memeberi jaminan keberlangsungan hidup kelompok manapun. “Hai manusia, Sesunguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling Taqwa diantara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal”. (QS 49: 13)
Hanya tuhan yang mengetahui apa yang tersimpan di hati seseorang dan seberapa dalam ketakwaan seseorang. Dengan kata lain, di hadapan Tuhan, tidak ada yang dapat memebenarkan deskriminasi, ketidakadilan sosial atau rasisme.
Ringkasnya, Islam itu indah dan membuat indah penganutnya serta lingkungannya. Tdak ada doktrin dalam islam yang mengajarkan kekerasan baik dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar maupun hubungan sosial. Semua dibingkai dengan kerahmatan dan penuh hikmah. Menegakkan agama islam dengan kekerasan, akan membuat orang-orang nonmuslin yang ingin masuk islam dan yang tergugah dengan agama Islam, akan mengurungkan niat mulianya untuk masuk Islam.
Oleh karena itu, tegakkanlah Islam dengan lembut, hikmah dan kasih sayang, sebab dalam hal itulah letak keindahan ajaran islam, yaitu memberikan keselamatan dan rasa aman serta kebahagiaan khususnya kepada umat Islam dan manusia pada umumnya.
Sumber gambar: laggam.id
Penulis merupakan alumni MA unggulan Nuris