Penulis: As’ad Humam*
Dahulu, bahkan hingga sekarang, masa depan muda-mudi alumni pesantren tidak diragukan lagi kesuksesannya. Hal ini selain karena kompletnya semua mata pelajaran disertai suasana yang mendukung untuk fokus belajar, juga sebab sokongan orang tua secara totalitas, terutama mengenai finansial.
Terbukti, kebanyakan para wali murid alumni pesantren yang membiayai sekolah/kuliah anaknya beranggapan bahwa kewajiban membiayai itu untuk anaknya yang mencari ilmu agama saja. Doktrin ini memang seakan-akan dilegitimasi oleh agama karenayang sering muncul di kitab-kitab kuning adalah pendapat para ulama yang hanya mengarahkan kepada ilmu agama (الإشتغال بالعلم الشرعي).
Sehingga orang tua yang memiliki anak yang bukan jurusan PK (Program Keagamaan), atau bersekolah di sekolah umum lainnya yang bukan di bawah naungan pesantren, merasa tidak mempunyai kewajiban lagi untuk membiayai sekolah anaknya. Nah, apakah benar demikian? Mari simak ulasan singkat berikut.
Pembagian ilmu
Pada mulanya ilmu hanya dibagi menjadi dua, yaitu ilmu agama (الشرعي) dan nonagama (غير الشرعي). Ilmu agama adalah ilmu yang sumbernya dari nabi SAW dan akal tidak memonopolinya. Semua ilmu agama ini sifatnya baik dan terpuji. Di dalamnya terdapat empat unsur ilmu. Pertama, ilmu pokok (أصول), meliputi al-qur’an, al-sunnah, ijma’ (konsensus masyarakat), atsar sahabat.
Kedua, ilmu cabang (فروع) dari ilmu pokok, meliputi segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia, seperti fikih, dan segala hal yang berhubungan dengan akhirat, seperti ilmu mengenai kondisi hati, akhlak terpuji.
Ketiga, ilmu prolog (مقدمات) yang diposisikan sebagai ilmu alat, semisal ilmu nahwu. Keempat, ilmu penyempurna (متممات) al-Qur’an, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan huruf, semisal belajar makharijul huruf; yang berkaitan dengan makna, seperti tafsir; yang berhubungan dengan hukum, semisal nasikh-mansukh.
Sedangkan ilmu yang non agama itu ada yang terpuji dan ada juga yang tercela. Ilmu yang terpuji ini masih dibagi dua yaitu ada yang fardhu kifayah, seperti ilmu matematika, kedokteran; ada yang sifatnya utama meskipun bukan fardhu, misalnya menjadi spesialis dalam bidang kedokteran–terlebih pada anggota tertentu–matematikawan. Sesudah itu,ilmu yang tercela, contohnya ilmu sihir, mantra, sulap, dan pemalsuan.
(baca juga: Perjalanan Panjang Tahun Baru Imlek di Indonesia)
Definisi Nafkah
Nafkah menurut ahli fikih adalah pengeluaran biaya dari seseorang terhadap orang yang wajib dinafkahinya, yang terdiri atas makanan pokok, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan yang menyertainya, seperti biaya air, minyak, dan lampu. Memberikan nafkah tidak hanya tanggungan seorang suami kepada istri.
Dalam Islam, kewajiban memberi nafkah disebabkan tiga hal, yaitu hubungan nasab (القرابة), akad nikah dan kepemilikan budak (ملك اليمين). Yang dimaksud al-qarabah adalah jalur nasab dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Berbeda dengan pendapat imam Abu Hanifah yakni tidak hanya dari atas ke bawah dan sebaliknya, melainkan juga jalur nasab ke samping, seperti saudara dan paman. Memberi nafkah sebab hubungan nasab diwajibkan karena adanya rasa kasih sayang (الشفقة) di antara mereka sehingga masing-masing dari mereka dianggap satu kesatuan, contohnya adalah ayah, ia merupakan sebagian dari anak dan begitu juga sebaliknya.
Urutan orang-orang yang wajib diberi nafkah sebab hubungan nasab dimulai dari empunya dan istri, kemudian pelayannya istri, anak yang masih kecil, ibu, bapak, anak yang sudah gede dan seterusnya. Sementara takaran nafkah yang harus diberikan adalah sekadar makanan yang tidak sampai mengenyangkan karena kenyang itu sendiri tercela di dalam Islam.
Anak yang Belajar Ilmu Agama Berhak Dinafkahi
Di dalam berbagai kitab turats, masyhur didengar bahwa anak yang menyibukkan diri dengan belajar ilmu agama wajib dinafkahi oleh kedua orang tuanya. Diantaranya, kitab I‘ānah al-Thālibīn jus 4 halaman 98 karya Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha (1266 H/1849 M) menyebutkan: “Dikecualikan dari yang pertama (anak tidak dinafkahi bila sudah balig) yaitu ketika anak belajar ilmu agama serta dapat diharapkan prestasinya, dan apabila ia mempunyai pekerjaan lain, pasti mengganggu fokus belajarnya. Dengan begitu, orang tua wajib memberikan nafkah dan tidak boleh memaksa anak untuk mencari pekerjaan.”
Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh imam Nawawi (631 H) di dalam kitabnya, raudlah al-thalibin jus 2 halaman 108. Beliau memberikan pengertian bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama, dengan adanya indikator susunan sifah-mausuf. Namun, teks ini berada dalam pembahasan zakat. Sehingga tidak heran bila teks ini kemudian dijadikan referensi pendukung di mayoritas kitab syafi’iyah terhadap nafkah orang yang fokus belajar ilmu agama. Hal ini disebabkan adanya kias atau analogi orang yang fokus belaar ilmu agama dengan amil sebagai mustahik zakat. Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami al-Syafi’i (1131-1221H) mengatakan dengan jelas di dalam kitab tuhfah al-habib
مِثْلُهُ أَيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِنْفَاقُ عَلَيْهِ مَا لَوْ كَانَ لَهُ كَسْبٌ يَلِيْقُ بِهِ لَكِنَّهُ كَانَ مُشْتَغِلا بِالعِلْمِ والكَسْبُ يَمْنَعُهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ قِيَاساً عَلَى الزّكاةِ أ ج
Begitu pula wajib menafkahi anak, apabila anak mampu untuk mencari pekerjaan layak, namun sibuk dengan aktifitas belajar agama yang bisa menghambat pada pekerjaan (mencari uang sendiri). Hal ini sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama karena dikiaskan terhadap zakat.
Prof. Dr. Hisamuddin bin Musa Muhammad bin Afanah di dalam tesisnya yang berjudul fatawa yas’alunak jus 5 halaman 58 mengemukakan pendapatnya mengenai analogi di atas
وقِيَاسُ الطَالِبِ المُتَفَرِّغِ لِلْعِلْمِ عَلَى العَامِلِ عَلَى الزّكاةِ بِجامِعِ حَبْسِ النَفْسِ لِمَصْلَحَةِ المُسْلِمِيْنَ قِياسٌ مُوَافِقٌ نُؤَيِّدُهُ وَنَرَاهُ
“Pengkiasan pelajar yang fokus mencari ilmu kepada amil zakat dengan berdasarkan atas tertahannya jiwa demi kemaslahatan kaum muslim adalah kias yang sesuai dengan kaidah”
Semua Pelajar Wajib Diberi Nafkah
Pada dasarnya, orang yang memberi nafkah itu harus punya harta lebih dari kebutuhan pangan sendiri dan istrinya dalam sehari semalam. Begitu pula orang yang wajib dinafkahi adalah yang berkekurangan dalam menunaikan kebutuhannya atau miskin. Dengan demikian, pelajar harus diberi nafkah sebab ia dikategorikan sebagai fakir.
Menurut sebagian ulama (sebutan untuk pendapat salah seorang ulama yang masih hidup. Lihat mushthalāt wa ta’rīfat fī al-fiqhi wa ushūlih), yakni Dr. KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag saat membahas bait dari kitab matn al-zubad yaitu
وافْرُضْ كِفَايَةً على ذِي يُسْرِ
لأَصْلٍ اوْ فَرْعٍ لِفَقْرٍ صَحِبَا لا الْفَرْعِ إِن يَبْلُغْ ولا مُكْتَسِبَا
“Bahwa anak wajib menafkahi kedua orang tua bilamana fakir. Sedangkan orang tua wajib menafkahi anaknya yang balig dengan dua syarat yaitu si anak lagi miskin dan tidak bekerja”.
Dalam pembahasan tersebut beliau tidak menjelaskan anak yang masih belum balig sebab kewajiban memberi nafkah untuknya sudah sangat jelas. Dan bagaimana seandainya si anak itu kaya maka orang tuanya tidak wajib memberi nafkah. Sedangkan apabila si anak itu tidak bekerja, padahal sebenarnya ia mampu untuk bekerja maka menurut imam al-Rafi’i, yang paling bagus adalah diberi nafkah, berbeda dengan pendapat yang shohih yaitu orang tua tidak wajib menafkahinya.
Terlepas dari pendapat yang shohih, Dewan Pimpinan MUI Pusat itu juga menjelaskan bahwa orang tua tetap wajib memberi nafkah anaknya yang sedang mondok di pesantren dengan syarat ilmu yang dipelajari bisa diharapkan hasilnya. Syarat ini melahirkan dua syarat yang lain yaitu rajin belajar dan tidak bodoh.
Selain itu, Ahmad bin Umar al-Syathiri (1312 -1360 H) mengatakan di dalam kitabnya, Syarah Yaqut al-Nafis
وَيُنْفِقُ عَلَي فَرْعِهِ اِذَا كَانَ مُعْسِرًا وَلَا يقدرُ عَلَي الْعَمَلِ اَوْ كَانَ طَالِبَ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ وَيَدْخُلُ فِيْهِ كُلُّ عِلْمٍ يَنْفَعُ الْمُسْلِمِيْنَ
“Orang tua wajib menafkahi anaknya bila sang buah hati tidak memiliki harta serta belum mampu untuk bekerja (mencari penghasilan) atau anak sedang menuntut ilmu agama. Dan termasuk dalam kategori ilmu agama adalah setiap ilmu yang bermanfaat kepada umat Islam”.
Jadi, anak yang sedang mencari ilmu apapun, agama ataupun sains, asalkan bisa memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa ini maka kedua orang tuanya harus memberikan nafkah. Hal ini disebabkan adanya maslahat yang berhadap-hadapan dengan mafsadat secara diametral. Dengan demikian, menuntut adanya pilihan antara fokus mencari ilmu atau membuat lalai urusan umat sebab tidak ada yang membiayai pendidikannya. Dr. Wahbah Zuhaili (1932 M) di dalam kitab monumentalnya, al-Fiqh al-Islami menegaskan keniscayaan tidak fokus belajar dengan melalaikan urusan umat, yaitu
فَلَوْ أُلْزِمَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ بِالْاِكْتِسَابِ لَتَعَطَّلَتْ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ
“Seandainya pelajar dibebani dengan pekerjaan lain yakni mencari mata pencaharian niscaya kemaslahatan-kemaslahatan umat sungguh terbengkalai”.
Sebagai kesimpulan, semua pelajar maupun mahasiswa/i yang serius dan tidak bodoh sehingga ia mempunyai prospek pencapaian yang jelas di kemudian hari, wajib diberi beasiswa dan biaya tunjangan hidup oleh orang tua masing-masing. Wallahu A’lam Bis Shawab
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2016, jurusan PK