Penulis: Abd. Halim W.H.*
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata “cemburu” diartikan dengan, pertama, sirik; merasa tidak atau kurang suka/senang melihat orang lain beruntung. Kedua, curiga; kurang percaya.
Sifat cemburu seringkali datang, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Dalam berkeluarga, contoh dari arti cemburu kedua sering muncul, misalnya, “seorang suami nekat memukuli istrinya lantaran cemburu karena melihat si istri ngobrol dengan teman kerjanya”. “Seorang istri marah-marah ketika suaminya datang dari kantor lantaran melihat suaminya bertemu dengan mantan teman SMA-nya ,” dan lain-lain.
Di satu sisi, sifat cemburunya seorang muslim yang macam ini adalah terpuji, sedangkan di sisi lain juga tercela. Pelabelan terpuji tersebut diantaranya adalah karena sifat tersebut akan mendorong seseorang untuk mencegah keburukan atau kemaksiatan pada diri orang lain. Bahkan, seorang suami yang tidak memiliki rasa cemburu sedikitpun kepada keluarganya mendapat ancaman yang mengerikan; Nabi menyebut suami macam ini dengan sebutan Dayyûts.
(baca juga: Dahsyatnya Bacaan Istighfar dan Sedekah)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrânî, Nabi Saw. menjawab pertanyaan sahabat tentang apakah itu Dayyûts? Beliau menyebutkan bahwa Dayyûts adalah orang yang tidak peduli pada siapapun saja yang masuk menemui keluarganya (alladzî lâ yubâlî man dakhala ‘lâ ahlihî).
Cemburu yang tercela antara lain, jika sifat tersebut tidak berdasar dan hanya mengira-ngira saja. Cemburu dalam kategori ini biasanya disebabkan kurang/tidak percaya dan buruk prasangka antara satu sama lain. Suami yang sering cemburu kepada istrinya lantaran ia kurang percaya terhadap kadar kesetiaan si istri, begitupun sebaliknya. Atau, karena si pencemburu terkena penyakit buruk sangka yang merupakan salah satu sifat yang dilarang dalam agama.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan, bahwa Nabi Saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Artinya, “janganlah kamu berprasangka buruk, karena prasangka buruk itu adalah berita yang paling dusta.”
Dalam QS. Al-Hujurât (49): 12 disebutkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ………………………………………
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa……………………………………………”
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. dengan tegas melarang seluruh hamba-Nya yang beriman agar menjauhi prasangka buruk (sû-uzh zhan). Sayyid Quthub tidak jauh berbeda dengan Imam Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat ini, bahwa suatu hal yang mengiringi dugaan merupakan awal mula seseorang untuk membongkar aib dan mengetahuinya. Mencurigai perilaku orang lain dengan tuduhan yang tidak benar dan tidak berdasar adalah murni perbuatan dosa yang harus dijauhi karena dampaknya yang sangat dahsyat, baik terhadap pelaku maupun objek tuduhannya.
sumber foto kover: dream.co.id.
*penulis adalah khadim di Program Tahfizh Nuris Jember