Puisi Sapardi Tak Pernah Selesai Digali

Penulis: Tazyinatul Ilmiah*

Hujan Bukan Juni

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Joko Damono adalah seorang penyair yang tertarik memaknai bulan Juni.

(Baca juga: k.r.t. hardjonagoro pelopor batik indonesia)

Melalui karyanya di atas yang berjudul “Hujan bulan juni”, Sapardi bercerita tentang bulan Juni. Hujan di bulan Juni, APAKAH ADA? Penasaran dengan makna puisi di atas? Silakan baca esai ini sampai habis.

Sapardi adalah seorang sastrawan Indonesia yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Maret 1940. Berita mengenai wafatnya beliau pada 19 Juli 2020 cukup menggemparkan para penikmat karyanya. Meskipun usianya sudah tidak terbilang muda, namun kepergiannya sungguh menjadi kabar duka bagi dunia sastra tanah air.

Meskipun beliau sudah wafat, namanya masih dikenal melalui puisi-puisinya yang identik singkat padat dan gaya bahasanya yang mudah dipahami. Puisi di atas contohnya sebuah puisi yang Sapardi tulis dengan bahasa yang sederhana namun memiliki makna yang mendalam.

(Baca juga:sulis pelantun lagu religi dan sholawat era 90-an)

Dalam puisi di atas, Sapardi menggunakan bahasa yang sangat familiar di telinga kita seperti: hujan, bunga, pohon,akar, bijak, dan arif. Sapardi sangat lihai dalam menyusun kalimat dengan teratur dan tepat sehingga perasaan seorang penyair dapat tersampaikan kepada para penikmat puisinya.

Puisi di atas tersusun atas tiga bait dengan kalimat yang penuh konotasi juga majas. Salah satunya adalah majas personifikasi yang diselipkan pada larik //dirahasiakannya rintik rindunya//kepada pohon berbunga itu//.

//Tak ada yang lebih tabah//dari hujan bulan Juni// dalam bait tersebut Sapardi menggambarkan hujan sebagai cinta kasih. Selain itu, Sapardi ingin menggambarkan mengenai ketabahan atau kesabaran dari hujan yang tidak turun membasahi bumi pada Bulan Juni, karena memang di Indonesia hujan tidak turun di bulan Juni. Dalam kalender tahunan, Bulan Juni merupakan tanda masuknya musim kemarau, sehingga sangat jarang terjadi hujan.

Sedangkan pada larik yang kedua, //Tak ada yang lebih bijak// dari hujan bulan Juni// ditulis oleh Sapardi untuk menggambarkan bahwa hujan mampu menahan untuk tidak menyampaikan rasa sayang dan rindu. Sementara pada larik yang berbunyi //Dihapusnya jejak jejak kakinya //yang ragu-ragu di jalan itu// menggambarkan seseorang yang ingin menghapus jejak keraguan, prasangka buruk yang hinggap dalam hatinya karena menunggu orang yang dicintainya. Ada pun pada larik terakhir //Tak ada yang lebih arif// dari hujan bulan Juni// Sapardi ingin menyampaikan bahwa bahwa orang yang diceritakannya pandai dalam menyimpan dan menyembunyikan rasa sayangnya serta rindunya pada orang yang ia cintai.

Selain pemaknaan di atas, ada hal yang unik dalam diksi atau penggunaan kata dalam puisi legendaris Sapardi. Ada hirarki yang sengaja dibuat dalam kata tabah, bijak, dan arif dalam puisi “Hujan bulan Juni”. Sekilas kata-kata tersebut tidak bermakna berarti, seperti bermain padanan kata atau sinonim. Namun, kata tetaplah kata. Ia adalah wadah dari makna yang tak mampu mewakili apa yang sedang dirasakan oleh manusia.

Dalam hirarki kata tersebut ada proses naik tingkat yang diceritakan. Ketabahan diikuti oleh pernyataan merahasiakan rindu. Hal ini berarti ada proses yang terjadi dalam kejiwaan seseorang yang diceritakan oleh Sapardi.

Hirarki kata berikutnya adalah bijak. Kata bijak dalam hal ini diikuti oleh perilaku menghapus jejak kaki yang ragu-ragu. Ketika seseorang sudah masuk dalam tingkatan bijak, maka ia tahu mana yang harus ditinggalkan dan mana yang harus dikejar.

Hirarki kata yang terakhir adalah arif. Kata arif diikuti oleh membiarkan yang tak terucapkan–yang dalam hal ini dapat dimaknai sebagai apa yang dirasakan oleh seseorang yang diceritakan dalam puisi tersebut–diserap oleh akar pohon. Penjelasannya, ketika sudah masuk dalam level arif, seseorang akan tahu betul apa yang harus dilakukan atau dapat juga dikatakan orang tersebut sudah tahu hakikat dari sesuatu. Ya. Puisi Sapardi memang tak pernah selesai untuk digali maknanya dan tak pernah jauh dari semangat profetik atau kontemplasi-kontemplasi kesufian.

Editor: Syuja’i
Sumber gambar: ideapers.com

Penulis merupakan siswa kelas X MIPA 3 SMA Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post