ANOCHECER

Penulis:  Annida Balqis A*

Senja, begitulah orang menyebutnya. Saat mentari sudah akan kembali ke peraduaannya. Di ujung hari dengan melodi sayup kendaraan, hewan-hewan kembali pulang, membawa seksa makanan untuk yang di tinggalkan disarang. Hhhh…senja kemilau indah warna orange menerobos dalam relung-relung jiwa. Membawa cinta, sayang, dan perdamaian senja, sihiran panorama dengan sejuta ke elokannya.

Buku kesayangannya masih mendekap nyaman di kedua telapak tangannya. Jari- jemarinyaterkulai membuka lembaran-lembaran terakhirnya. Senja hampir tiba, dia sudah bersiap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Matanya terus menelaah pada setiap kata, bersiap untuk menyudahinya. Tepat senja menduduki singasana terbaiknya, bukunya di tutup pikirannya melayang. “Semua kejadian yang ada di dunia ini sudah pasti saling berkaitan meski hadirnya hanya sekedar melewati saja.” Tubuhnya mencapai titik kedamaian suasana di sekitar menjadi tentram dan kemudian dirinya bercahaya, berpendar cahayanya adalah cahaya senja.

(Baca juga: suara negeriku)

     “Cheche” begitulah teman-temannya memanggil. Tapi nama lengkapnya adalah Anochecer yang berarti senja dalam bahasa Spanyol. Yaps, dia lahir di negri Barcelona tepatnya pada titik senja terbaik. Namun, dengan beberapa problem, ayah dan ibunya kembali ke tanah air. Cheche bukan murni beragama islam dia seorang muallaf yang saat ini merajut ilmu ke tanah pesantren di daerah Tasikmalaya. Sebagai remaja yang berumur 15 tahun, cheche selalu di penuhi rasa penasaran. Diapun mencari tahu lebih dalam, apa itu islam dan ada apa dibalik dunia?.

     “Che, bangun!” suara Nadia, sahabatnya yang berhasil membuat matanya terbuka, memecah konsentrasinya dan menghilangkan cahaya yang terpendar di tubuhnya. Nadia, sahabat kecil cheche yang tau kelebihan cheche. Dia tau bukan hal bagus jika cheche berpendar di tengan kebisingan pesantren itu hanya akan membuat teman-temannya semakin curiga saja dan bisa jadi akan mengusirnya karena di anggap siluman.

   “Hmmm…maaf, aku terlalu menikmatinya” jawab cheche. Nadia hanya menganggukkan kepala.

Langit semakin gelap bisingan suara santri semakin terdengar seperti ngengat. Memekakkan telinga, beginilah suasana pesantren yang paling membuat cheche ingin menyerah. Lantuna adzan maghrib mulai saling bersautan membuat melodi indah pada semesta. Hati cheche kembali damai, pikirannya kembali melayang. Jika yang tertera pada buku itu benar, berarti Allah punya alasan mengapa dia menjadikan takdirku sebagai muslim dan aku mengais ilmu di pesantren. Hatinya menyeruak disisi lain dia berat harus terusir dari negri tercintanya namun disisi lain dia bahagia, bisa mengenal muslim.

    “Che, sebenarnya apa yang kamu pikirkan dari tadi? Sampai kamu gak denger waktu iqomah” Nadia menatap sahabatnya seusai sholat isya’ berjamaah di masjid pesatren.

   ‘Nadia, aku Cuma penasaran alasan Allah menjadikanku seorang muslim dan mengais ilmu di pesantren ini?” jawab cheche.

   “Che, tanpa penjelasan dari Allah tentang itu, kamu harus percaya bahwa ini yang terbaik buat kamu dan kamu harus bersyukur bahwa kamu adalah salah satu mahluk yang sangat Allah sayangi. Makanya kamu di kembalikan pada jalan yang benar” jawab Nadia mencoba menghibur namu, kata-katanya membuat cheche semakin termenung.

   “Che, ditimbali Bu.Nyai di dhalem” seseorang membudayarkan percakapan hangat kedua sahabat itu. Cheche langsung turun dari masjid dan bersiap ke dhalem memenuhi panggilan ibu keduanya itu.

 “Assalamualaikum” begitulah yang cheche ucapkan di depan pintu dhalem, sembari menunggu jawaban salam dari pemilik dhalem

 “Waalaikumsalam, masuk nak cheche” setelah di perkenankan masuk, cheche melangkah dengan hati-hati dan menunduk sopan. Itulah yang selalu dia lihat ketika seseorang memasuki dhalem. Katanya adatnya

 “Duduk nak!” kini P. Kyai yang memerintahnya. Cheche duduk di hadapan dua orang yang wajahnya meneduhkan hati.

 “Jadi begini nak, saya mau memberikan sebuah buku kepadamu. Saya tau hanya kamu yang bisa menggunakan buku ini. Dengan buku ini kamu akan tau jawaban dari semua pertanyaan yang ada dalam pikiranmu.” Dawuh Kyai, Cheche gelagapan entah dari mana kedua pengasuh ini tau tentang pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengarungi pikirannya.

Tangannya menerima sodoran buku yang nampak usang itu. Terdapat lambang mentari di covernya, tapi ada tulisan ANOCHECER dibawah lambang itu,seperti buku itu memang ditujukan kepadanya. Bu Nyai tersenyum.

  “Kami sudah selalu mencari pemiliknya selama tujuh tahun terkahir ini, tapi ternyata benar sang pemiliknya akan datang dengan sendirinya” Cheche semakin bingung dengan semuanya buku, pemiliknya ada apa sebenarnya.

(Baca juga: melalui bisikan doa)

  “Bagaimana che? Apa dhawuhnya Kyai sama Bu Nyai” Nadia sangat antusias melihat cheche datang. Semua teman sekamarnya sudah larut dalam tidur.

  “Entahlah Nadia, tapi Kyai dan Bu Nyai memberikan ini padaku” tangannya menyodorkan BUKU ANCHECER itu.

  “Wow, buku apa ini che? Kenapa gambar matahari sama seperti lambang di tanganmu ketika kamu mengeluarkan cahaya?” ucap Nadia menyelidiki.

 “Apa Nad?” Cheche tersentak kaget.

 “Iya lambang matahari ini disaat kamu sudah mengeluarkan cahaya. Dan ketika cahaya ditubuhmu hilang lambang itu juga hilang dari tangamu.” Kini mulut cheche benar-benar terkatup dia tak tahu harus bicara apa.

   Suara bel terdengar begitu nyaring di pukul 03:00 WIB pagi, santri segera bangun dan bergegas mengambil air wudhu. Tahajjud itulah waktu terbaik untuk bersimpuh kepada Tuhan memohon, bermunajad, dan meminta ampun untuk segala dosa. Dilanjutkan dengan sholat subuh dan kegiatan rutinitas pesantren mengaji diniah, makan, mandi, sekolah. Begitulah seterusnya berputar indah bak bianglala di pasar sabtu. Berat jika dipikiran tapi nyaman jika dijalankan.

     Ini adalah senja ke-33, setelah kembali ke pesantren. Cheche mengajak Nadia ke sebuah dinding belakang batas pesantrennya yang di tunjukkan bu Nyai semalan.

 “Kita mau kemana che?” Tanya Nadia yang wajahnya takut. Ya, dia takut kena pelanggaran oleh bagian keamanan pesantren.

 “Sudah tenang saja!” Jawa cheche kemudian cheche mengeluarkan buku ANCHECERNYA menghadapkannya ke dinding dari ajaib! Dindingnya mengeluarkan lambang yang sama dan terbuka seukuran manusia dengan sendirinya. Cheche memegang tangan Nadia dan masuk melalui pintu itu. Pemandangan indah tersaji di depan mata.

     Hamparan bunga matahari meliuk indah bersama gesekan angin. Kicauan burung gereja mendamaikan jiwa, indah tapi ini tempat apa? Belum lengkap pertanyaan itu. Kupu-kupu warna-warni menuju ke arah cheche dan ajaib, baju cheche berubah menjadi seperti putri. Nadia hanya bisa mengerjap, dan beranaslisa bahwa ini hanya sebuah mimpi.

  “Bagus, titik senja” batin cheche. Tangannya langsung memegang bukunya dan di hadapkan ke matahari selang tangan satunya memegang cover buku dan sekali lagi Nadia harus benar-benar merasa bahwa ini mimpi, cheche mengeluarkan cahaya yang semakin terang di dalam dirinya.

     “Selamat datang ANNOCHECER, silahkan ada memilih akan pergi ke kanan atau kekiri” Suara itu menggema sebelum genap pertanyaan cheche dia dimana dan kemana Nadia. Di depannya ada dua lorong dan cheche berjalan ke arah kanan.

      Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara, sepertinya dalam sebuah perkumpulan. Cheche terus berjalan, hingga kakinya terhenti disana ada 9 orang laki-laki berkumpul, sepertinya pembahasannya serius.

   “Mau bagaimanapun, pemuda akan lebih tenang belajar jika dikumpulkan menjadi satu”

 “Ya, saya rasa itu bukan ide buruk”

 “Bagaimana kalau kita membuat pondok”

Sepertinya begitu percakapanya. Cheche mulai paham sepertinya merekalah orang pertama yang menggagas adanya pesantren.Semua kembali bercahaya dan tiba-tiba dia sudah melihat perkumpulan pemuda-pemuda sedang menunggu seseorang. Tiba-tiba satunya berseru.

  “Kanjeng sunan datang” lantas mereka berbaris rapi, duduk dengan tenang dan langsung duduk wajahnya teduh dan tersenyum. Semuanya membaca lantunan doa bersama, damai dan tenang. Kemilau cahaya kembali datang.

   “ANOCHECER, saatnya pergi ke lorong satunya” suara tanpa wujud itu menggema lagi. Cheche berjalan, namun sepertinya suaranya adalah suara tembakan dan ledakan. Cheche mempercepat langkahnya semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Dan seketika langkahnya terhenti, matanya mengerjap dan rahangnya tetutup. Pemandangan ironis, santri dan pengasuh di berbagai tempat di bantai habis-habisan.

  “Hey apa yang tejadi?” Belum genap pertanyaanya cahaya kemilau kembali berpendar dan lebih ironis lagi, Cheche menggigit bibirnya menatap lamat-lamat apa yang ada didepan matanya. Diskotik, seks bebas dunia telah hancur.

     Titik terbaik senja telah dimanfaatkan dengan baik oleh cheche. Dia tau apa yang kini harus diperbuat, belajar dan berjuang untuk tetap melestarikan adanya pesantren di dunia ini. Dia bercerita semua yang dilihatnya kepada Nadia setelah tiba di kamar. Usai sholat isya’ berjamaah dan diniah, Nadia dan cheche bergegas tidur mereka lelah.

      Seperti biasa, dentingan bel di pagi sunyi membangunkan semua santri. Begitupun cheche namu saat akan mengambil jilbabnya.

  “Nadia! Bukunya hilang!” ucap cheche.

  “Kok bisa che? Yaudah kita cari nanti! Sekarang kita bersiap ke masjid dulu!” Nadia mencoba menenangkan.

 “Tapi Nad, kata Bu Nyai kalau buku itu dipegang bukan pada pewarisnya maka….”

 “Debum..” Suara hantaman keras terdengar dari kamar sebelah cheche dan Nadia saling bertatapan.

Sumber gambar: phinemo.com

Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler penulisan kreatif sastra

Related Post