Penulis: Iffah Nurul Hidayah*
Kesiur angin perlahan tiba di pelataran siang hari ini, pada hari Sabtu, 14 Agustus 2021. Satu dua santri bersarung warna-warni lalu lalang membawa bungkusan nasi. Di samping sebuah ruangan, saya duduk tunduk sembari memasang telinga, mendengar tutur-tutur kalimat dari seorang lelaki yang menyandang gelar santri. Dia adalah M. Fayyadul Maula, santri asal Situbondo yang aktif menjadi kader aswaja di Pondok Pesantren Nurul Islam Jember sambil sesekali membenarkan mahkota di kepalanya, ia dengan sabaran memberi pernyataan dari segala pertanyaan yang saya lontarkan.
Semakin canggihnya teknologi informasi, ditambah lagi dengan kondisi pandemi yang mengakibatkan aktivitas kebanyakan juga semakin sering menggunakan alat-alat digital seperti smartphone. Hal ini tidak menutup kemungkinan masyarakat luas untuk menerima berita-berita yang ranahnya berupa kebohongan atau biasa disebut hoax. Menyebarkan ataupun menerima berita hoax dapat menimbulkan kesalahpahaman antar individu maupun kelompok. Hal tersebut dapat terjadi akibat pihak-pihak yang tak bertanggungjawab menyebarkannya, membuat isu-isu dengan dasar ingin mengadu domba atau karena sifat iri dengki yang mengeruak sehingga membuat diri tidak dapat menahan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan dan bahkan merugikan masyarakat luas.
Baca juga:( Artikel 3: Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Bioetanol dalam Upaya Menuju Indonesia Mandiri Energi)
Di bumi pesantren yang umumnya tidak menyentuh alat-alat digital membuat santri terhindar dari jangkauan berita-berita hoax. Namun hal tersebut hanya berlaku untuk berita-berita di luar area pesantren. Lantas bagaimana cara santri menghalau berita-berita hoax yang bisa kapan saja beredar di dalam area pesantren? Di tengah cuaca yang tak juga dikatakan mendung hari ini, akan saya tintakan pernyataan-pernyataan yang telah rekan saya tuturkan.
Sekalipun berlingkup pada landasan agama, syariat dan tak jarang dikatakan kolot tentang teknologi. Santri sendiri memiliki cara-cara ampuh yang telah dipelajari di pesantren. Dari pembelajaran Alquran dan kitab-kitab karya ulama-ulama terdahulu ataupun lewat keseharian di pesantren. Termasuk dengan nilai-nilai aswaja yang telah ditanamkan pada diri santri Pesantren Nurul Islam (Nuris) Jember. Santri sudah sangat siap untuk terjun pada masyarakat sekaligus menghadapi hal-hal buruk yang tak akan luput dari tudung kehidupan.
Membahas kajian-kajian aswaja, santri sendiri telah dibiasakan oleh sikap tengah-tengah atau disebut at-tawassuth sebagaimana dikatakan pada dalam surat Albaqarah ayat 143 yang artinya “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Rasul (Muhammad) menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”
Hoax yang identik dengan pertikaian serta kesalahpahaman menjadikan pihak yang terpengaruh melakukan hal-hal yang berlebihan. Mereka cenderung melakukan tindakan yang tentunya merugikan banyak pihak. Sikap tengah-tengah tersebut telah menjadi landasan santri. Untuk tidak melakukan hal-hal yang dirasanya melalui batas. Ekstrem kanan ataupun kiri.
Berikutnya, yakni tabayyun. Hal yang cukup asing pada kalangan masyarakat luas. Namun hal ini adalah hal yang sangat terbiasa untuk santri dalam bertabayyun. Butuh beberapa gambaran dan pengertian agar mampu mengetahui maknannya. Secara singkat tabayyun dapat diartikan penjelasan atau pemahaman. Secara pengertian tabayyun adalah mencari kejelasan suatu masalah hingga terbukti dengan jelas kebenarannya. Jadi, dengan tidak asal menelan berita yang masih belum jelas validnya serta dengan ber-tabayyun cukup menjadi benteng kuat untuk mengatasi berita-berita hoax di sekitar kita.
Dan selanjutnya yang mungkin akan menjadi yang terakhir. Berhati-hati dengan semua berita, dan tidak harus menangkap semua berita terlebih jika berita tersebut membahas mengenai aib. Allah pun telah menerangkan dalam kitabnya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh karena itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat : 12)
Maka sudah seharusnya kita tidak langsung mempercayai kebanyakan berita-berita yang berunsur kebohongan apalagi membuat kita malah tersesat melakukan dosa jariyah yang lebih besar.
Sebotol kopi dari toko sebelah menutup perbincangan kami. Melalui ruang-ruang empat puluh tiga menit yang tidak akan sia-sia hari ini. Pula saya rampungkan beberapa yang semoga bermanfaat.[]
*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember