Penulis: Yosni Ayu F
Isra’ dan Mikraj tak asing lagi bagi umat muslim di dunia. Peristiwa ini terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw, beliau berada di Mekkah melakukan perjalan satu malam. Di perjalanan satu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan dari sana ke Sidratil Muntaha dalam waktu yang amat singkat.
Itu karenanya ada riwayat yang mengatakan. ketika selesai dari perjalanan tersebut, tempat pembaringan Nabi itu masih terasa hangat. Perjalanan dari Mekah ke Palestina itu dapat ditempuh oleh siapa pun walaupun memakan waktu yang lama, namun perjalanan dari Masjidil Aqsa (Palestina) ke Sidratil Muntaha sampai sekarang belum ada yang berhasil ke sana.
Hal ini benar-benar perjalanan yang luar biasa yang dillakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Peristiwa Isra’ Mikraj ini tak bisa difikir oleh akal melainkan oleh iman, peristiwa ini menjadi peristiwa penting bagi umat muslim di seluruh dunia. Mereka dapat merasakan betapa luar biasanya Nabi Muhammad melakukan pejalanan hanya satu malam.
(baca juga: Rencana Tuhan Selalu Indah di Waktu Yang Tepat)
Dikarenakan pengalaman Isra’ dan Mikraj yang terjadi pada diri Nabi ini membuat logika manusia tidak semuanya membenarkan akan kebenaran peristiwa tersebut, maka di akhir-akhir surah al-Nahl, Allah Swt mengungkapkan “(Hai Muhammad), kamu nanti bakal menghadapi berbagai macam pendapat, maka bersabarlah, janganlah kamu bersedih hati atas pengingkaran orang-orang” (QS. al-Nahl: 127). Ayat ini mengindikasikan bahwa pengalaman Isra’ dan Mikraj itu tidak mustahil jika ia diingkari kebenarannya, terutama bagi manusia yang menyikapinya dengan menggunakan logika dan nalar semata-mata.
Apabila kita menyoroti peristiwa tersebut melalui pendekatan dari teori-teori atau dasar filosofis dari ilmu pengetahuan saat ini, hal tersebut dapat diamati melalui tiga hal: pertama, trial and error (coba-coba); kedua, melalui pengamatan (baik itu melalui kelima panca indera maupun akal); dan yang ketiga, melalui experiment (percobaan).
Pengalaman Isra’ dan Mikraj jika diamati menggunakan pendekatan atau tolak ukur dari tiga teori di atas, maka peristiwa tersebut menjadi mustahil dan tidak logis. Walaupun begitu juga, jika Isra dan Miraj itu ditinjau melalui pendekatan ilmiah, maka ia menjadi tidak ilmiah lagi.
Salat adalah kebutuhan hati dan akal. Dikarenakan pengalaman Isra’ dan Mikraj itu memerlukan pendekatan iman untuk membenarkan peristiwa tersebut, maka secara tidak langsung melalui ibadah shalat ini tertanam kepercayaan ke dalam diri manusia akan ke Mahakuasaan Allah Swt atas segala sesuatu. Jika tertanam di dalam hati manusia akan ke Maha KuasaanNya, ia akan mengimani dan membenarkan peristiwa tersebut.
Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mikraj adalah sesuatu yang harus diimani atau dipercayai, pembenarannya adalah pembenaran hati. Itu sebabnya, ada filosof yang menyatakan bahwa seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, karena kalau sudah tahu ia tidak lagi dinamai percaya. Kita percaya, karena Alquran telah menceritakan akan hal tersebut. Walaupun peristiwa Isra dan Miraj adalah sesuatu yang suprarasional yang tidak terjangkau oleh nalar, namun ia dapat dijangkau oleh iman.
(baca juga: Bahagia dengan Sholat Tahajud)
Oleh karena itu, sebelum diceritakan tentang Isra’, Allah Swt terlebih dahulu mengawali pembicaraan-Nya dengan perkataan subhaana yaitu Mahasuci Allah. Perkataan subhaana tidak diucapkan dan tidak diperuntukkan kecuali untuk sesuatu yang aneh, ajaib, dan yang istimewa atau untuk sesuatu yang dapat mengagumkan seseorang. Dengan demikian, jangan anggap Allah Swt tidak mampu dan tidak kuasa akan itu, karena Dia Mahasuci atas segala kekurangan yang tergambar di dalam benak manusia.
Penulis adalah siswa kelas X IPA 2 SMA Nuris Jember yang juga aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net