Penulis : Nabila Hilmiah*
Banyak orang berpandangan bahwa kebaya adalah salah satu pakaian tradisional yang sangat bernilai namun tidak praktis digunakan di era sekarang. Hal tersebut berdampak pada nilai kontinuitasnya yang semakin kecil. Sebenarnya, mengapa penggunaan kebaya untuk sehari-hari sudah tidak praktis lagi di masa ini? Lalu bagaimana dengan orang zaman dulu yang di kesehariannya selalu memakai kebaya, bahkan ketika beraktivitas yang berat?
Kebaya tradisional, dengan segala atributnya tentu tidak efisien jika dibanding dengan style Korea yang lebih simpel. Ritme kerja masyarakat modern yang ingin semuanya serba efisien sekaligus nyaman dikenakan menganggap kebaya sangatlah ribet.
Dahulu, di era kemerdekaan kebaya menjadi pakem identitas negara sebagai representasi budaya nasional Indonesia. Berlanjut di masa Orde Baru, melalui konsep ibusme pemerintahan Soeharto menjadikan kebaya sebagai alat untuk pengekangan perempuan.
Bagi perempuan Indonesia, penampilan Ibu Tien yang seperti itu seakan menjadi role model pada masanya. Saat mendampingi suaminya di setiap kesempatan, Ibu Tien selalu memakai satu set kebaya, sehingga dalam hal itu timbul pemikiran bahwa kebaya merupakan upaya domestikasi perempuan Indonesia, atau dengan kata lain kebaya sebagai pembatas ruang gerak perempuan, tidak seekspresif model baju korea atau eropa.
(baca juga: Tips Menyiasati Gejolak Biaya Pendidikan Kekinian agar Tak Jebol)
Sebuah kutipan dari Victoria Cattoni mengatakan, “Kebaya dapat mempunyai makna yang membebaskan tetapi juga membelenggu”. Sehingga melalui tubuh pemakainya, kebaya tidak semata-mata hanya sebagai bentuk pembatasan terhadap gerak-gerik perempuan, namun ia juga dapat menjadi sebuah ekspresi kebebasan.
Sejalannya waktu, kebaya sudah diadopsi menjadi rancangan yang lebih modern. Yang tadinya kebaya hanya berbentuk sebagai rancangan pakem dengan bawahan kain, selendang, dan konde, sekarang terbentuk gaya yang lebih praktis seperti pepaduan kebaya dan celana, bahan yang lebih adem dan menyerap keringat juga bisa didesain sesuai tuntutan agama. Hal tersebut menyiratkan secara eksplisit bagaimana perempuan memakai otoritasnya dalam menentukan bukan saja model kebaya tetapi juga menyesuaikan dengan ajaran agama sebagai sebuah jalan tengah.
Meski pada zaman Orde Baru pemaknaan kebaya dinarasikan oleh otoritas negara, tak dapat dielakkan kini tidak lagi seperti itu. Perubahan desain kebaya dari masa ke masa menunjukkan bahwa meskipun kebaya memiliki pakemnya sendiri, kini bisa lebih cair dan beragam.
Lebih dari itu, perkembangan kebaya hari ini menunjukkan bahwa kebaya adalah budaya yang dinamis dan tak dapat dikerucutkan menjadi pemaknaan tunggal. Siapapun yang memilih untuk menggunakan kebaya memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka mau memaknai kebaya yang mereka pakai.
Pada kenyataanya, kebaya dapat menjadi pilihan pakaian yang unik dibanding cropped top ataupun blazer yang sedang banyak digeluti kawula muda saat ini. Apalagi kebaya dalam mode tradisional, bawahan yang berupa batik dan tak lupa aksesoris selendang yang disampirkan ke pundak, ditambah gaya rambut yang disanggul. Bahkan akhir-akhir ini, gerakan Kebaya Goes To UNESCO sangat gencar dilakukan untuk mendaftarkan kebaya sebagai salah satu warisan dunia tak benda (Intangible Curtural Heritage).
Untuk membuat masyarakat tertarik dalam hal ini aktris papan atas, Dian Sastrowardoyo turut mengkampanyekan gerakan ini. Adanya publik figur yang turun langsung untuk menjadi role model diharapkan mampu menjangkau lebih banyak lagi masyarakat Indonesia sebagai metode yang jitu. Namun akankah penggunaan publik figur ini akan seberpengaruh itu untuk jangka panjang?[]
*penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris tahun 2018