*Penulis: Nuraidina Rifki Fitria
Penulis merupakan salah satu siswa SMA Nuris Jember.
Kursi putar itu berdecit kencang.Memekakkan telinga yang mendengarnya.Keringat terus mengucur dikening gadis yang terus menunduk.Ia tak melihat wajah yang berada di depannya itu.Hening.
“Kamu ingin meneruskan jejang universitas di mana?” Tanya suara berat itu mencair keheningan.
“Saya ingin meneruskan di Universitas Gajah Mada, Gus.” Ucap gadis itu yang terus menunduk dan tidak melihat lawan bicaranya.
“Apa keinginana kamu ingin melanjutkan ke sana?” Ia kembali bertanya.
“Karena saya ingin membahagiakan orang tua saya, Gus.”
“Membahagiakan?”
Kata itu seperti pedang yang menusuk ulu hati dengan ketajamannya. Jihan tahu arah pembicaraan ini.Ia menganggukkan kepalanya. Air mata jatuh dari sudut matanya.
“Dengan ini, kamu bilang ingin membahagiakan?”
Air mata semakin deras mengucur di pipi gadis itu. Isak tangis gadis itu pun terdengar.
“Mereka sudah mengetahuinya?”
“Belum, Gus”
“Kenapa kamu tidak memberi tahu mereka? Apa kamu takut akan mengecewakan mereka?”.Gadis itu menganggukkan kepalanya yang terasa berat, kamu tahu itu?”
Aku merembes mili setelah bercakap Gus Hasyim. Ia adalah anak seorang sahabat pengasuh yang juga memiliki pesantren di tempat lain.
“Apa yang terjadi? Cepat katakan!” Diana memaksaku untuk bercerita tentang pertemuan bersama Gus Hasyim.
Jihan langsung mulai cerita. Jika putra sahabat kyai itu bertanya rencana seusai lulus dari SMA Nuris. Jihan menjawab jika ingin masuk UGM, hanya saja ia tak menceritakan keinginan itu pada orang tuanya. Makanya, perempuan itu merasa bersalah dan menangis.
Belum genap Jihan menguasai tubuhnya, tiba-tiba seorang santri masuk ke kamarnya dan meinta perempuan penyuka warna putih itu untuk ke dhalem kiai.
“Ada apa ya?”
Jihan mulai kebingungan.
(Baca juga: Filosofi Air)
Akhirnya ia memilih melangkahkan kakinya menuju dhalem. Di sana kedua orang tuanya juga ada di dhalem.
“Umi… Abah.”
Jihan memanggil orang tuanya satu-satu. Setelah itu ia langsung menumpahkan rasa rindu yang penuh tangisan dan sungkem pada malaikat yang dikirim Allah untuknya selama hidup di bumi.
“Maafkan Jihan.”
Hanya kata itu yang meluncur dari bibir perempuan itu.
“Seorang ibu akan selalu memaafkan anaknya.”
Selepas itu Jihan langsung pamitan kepada keluarga pengasuh. Di sana juga tampak Gus Hasyim yang memandangnya.
Perempuan itu juga langsung mengemasi barang-barangnya sekembalinya di kamar.
“Kamu mau ke mana?”
Diana langsung menyambutnya dengan tanya.
“Aku hanya pergi untuk sementara.”
Mendengar jawaban itu Diana hanya bisa mengelus punggung sahabatnya. Hingga tak terasa bahu Jihan basah karena air mata Diana.
Selepas itu Jihan benar-benar langsung pergi dari asrama. Ia tak secuil pun ingin berbagi pada Diana, bukan karena tak percaya, tetapi ia tak ingin memberatkan Diana dengan kisahnya.
Perempuan itu langsung masuk ke mobil inova berwarna hitam milik Abah. Ia duduk di bagian belakang bersama adik laki-lakinya yang baru memasuki usia kelas satu sekolah dasar.
Mobil itu melesat ke sebuah perkampungan kecil yang tak lain adalah rumah Jihan. Dan berhenti tepat ketika gerbang berwarna cokelat tua yang sudah memudar itu terbuka. Seorang satpam menyambut kedatangan sang tuan rumah.Ia membantu membawakan barang-barang milik Jihan untuk bawan ke dalam rumah.
Suasana di ruang tamu itu yang hening langsung menyambut Jihan. Tetapi, keheningan itu hanya sebentar.
“Jihan, tolong katakan yang sejujurnya. Apakah kamu benar-benar pacaran dengan Gus Hasyim?”
(Baca juga: Hikayat Bunga Santri)
Jihan tak segera menjawab pertanyaan Umi. Bukan tak bisa menjawab, tetapi selama ini ia kagum kepada anak dari sahabat pengasuh. Tidak lebih. Tetapi kedekatan mereka memang patut dicurigai. Dan Jihan paham risiko itu.
***
Sinar matahari menembus lewat celah-celah tirai ruangan yang gelap itu suara kenop pintu didorong dan pintu terbuka. Seorang wanita paruhbaya memasuki ruangan itu dan mendapati putrinya yang tidur di lantai ia langsung menghampiri putrinya itu.
“Jihan… Jihan.
”Suara lembut itu membangunkan jihan dari tidurnya.
“Jihan, ayo kita makan! Umi sudah buatin kesukaan kamu loh.”
Umi mencoba menghibur Jihan, tetapi perempuan itu tidak meresponnya.
“Aku gak mau makan, Mi. Aku tidak berselera makan.”
Umi meneteskan air mata dan memeluk Jihan dengan erat.
“Umi, bersediakan Umi menemani Jihan untuk menikmati waktu yang berharga ini.”
***
Di Pondok Pesantren Nurul Islam
Gus Hasyim dan orang tuanya segera menghadap pengasuh Pondok Pesantren. Mereka disambut dengan shalawatan khas santri Nuris. Tetapi hati Gus Hasyim menggigil ketakutan. Ia tak percaya masalah ini sampai membuat orang tuanya ikut dipanggil.
“Anakmu juga harus menerima hukuman yang sama dengan santriku. Makanya aku berniat mengembalikan padamu.”
“Aku setuju dengan Kang Mas. Tetapi, ia juga harus bertanggung jawab dengan santri itu!” Putus Pengasuh.
***
Jihan telah bersiap menuju pondok pesantren lain. Baginya Nuris akan menjadi kenangan indah. Pun, suara mobil khas pondok yang menjadi tujuan telah terdengar jelas. Dan sepertinya berhenti di sebuah pekarangan rumah yang dituju. Jihan bangkit dari duduknya dan menghampiri beberapa petugas pondok yang sedang berdiri di pekarangan rumahnya, Jihan memakai jubah berwarna hitam dan jilbab yang juga berwarna hitam. Jihan sungkem kepada abah dan uminya.
“Umi-Abah, sekali lagi maafin Jihan, doakan Jihan.” Jihan mencium kaki Umi dan Abah lalu bangkit berdiri, matanya sembab. Umi tak kuasa menahan air mata dan membenamkan wajahnya di dekapan Abah. Mobil pondok itu pun melaju. Tak sampai tiga puluh menit. Orang tua Jihan kedatangan tamu.
“Gus Hasyim.”
“Maaf, mana Jihan, Bu?”
Umi memandang Abah, “Ia sudah dipindah ke pondok lain agar bisa lebih fokus.”
Gus Hasyim menampakkan rona kecewa.
“Kita susul dia.” Putus orang tua Gus Hasyim.
Mengetahui kejadian itu, orang tua Jihan hanya mengerutkan kening. Bingung harus menjawab apa. Hingga mereka lupa menjawab salam perpisahan dari orang tua Gus Hasyim.
Sementara itu, di perjalanan Gus Hasyim teringat saat pertama bertemu Jihan. Kala ada shalawatan di pondok. Perjumpaan pertama yang juga membuat lelaki itu rindu akan shalawat.