Pandangan Ahlussunnah tentang Musibah Perselisihan antara Sebagian Sahabat

Soal:

Dalam sejarah Islam, telah terjadi musibah perselisihan di antara sebagian sahabat Nabi Muhammad Saw. Diantaranya adalah terjadinya perang Jamal dan perang Shiffin. Bagaimanakah pandangan dan sikap Ahlussunnah tentang hal itu?

Jawab:

Dalam menyikapi perselisihan yang terjadi di sebagian sahabat, golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah tetap berpedoman para prinsip Tawassuth (tengah-tengah atau netral), karena meyakini bahwa para sahabat merupakan orang-orang yang mulia yang sudah seharusnya kita hormati. Di dalam kitab al-Muntakhabat disebutkan:

وَقَالَ الاِمَامُ الشَّافِعِيُّ وَنُقِلَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عِبْدِ العَزِيْزِ اَيْضًارَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تِلْكَ دِمَاءٌ طَهَّرَهُمُ اللَّهُ عَنْهَا اَيْدِيَناَ فَلْنُطَهِِّرْ عَنْهَا اَلْسِنَتَنَا﴿المنتخبات ص ١٢٧﴾

“Imam Syafi’i RA berkata, dan pernyataan itu juga dinukil dari Umar bin Abdil Aziz RA, “ Hal itu (tentang para sahabat) merupakan darah yang disucikan oleh Allah dari tangan kami, maka sudah selayaknya lidah kita kita disucikan dari (membicarakan/menghina) mereka.” (Al-Muntakhabat, 127)

(baca juga: Membaca Basmalah dalam Surat al-Fatihah)

Di samping itu, perselisihan yang terjadi merupakan hasil ijtihad yang akan mendapat dua pahala kalau benar dan satu pahala jika salah. Sebagaimana syair Ibn Ruslan dalam kitab Zubadnya:

وَمَا جَرَی بَيْنَ الصِّحَابِ نَسْكُتُ۞عَنْهُ وَاَجْرُ الاِجْتِهَادِ نُثْبِتُ﴿متن الزبد٧٬﴾

“Apa yang terjadi di kalangan sahabat kita tidak berkomentar (memihak) Dan dari pahala ijtihad maka kami menetapkannya.” (Matn al-Zubad, 7)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Imam Asy’ari sebagai tokoh golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Beliau menyatakan bahwa para sahabat merupakan orang-orang pilihan. Bahkan, di antara mereka sudah mendapat jaminan surga. Sedangkan perselisihan yang terjadi hanyalah perbedaan ijtihad. Karena itu tugas kita adalah menjaga kesucian dan kemuliaan mereka.

وَأَمَّامَاجَرَی مِنْ عَلِيٍّ وَالزُّبَيْرِ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ فَإِنَّمَا كَانَ عَلَی تَأْوِيْلٍ وَاجْتِهَدٍ وَعَلِيٌّ الْإِمَامُ وَكُلُهُمْ مِنْ أَهْلِ الاِجْتِهَدِ وَقَدْ شَهِدَ لَهُم النَّبِيُّ صَلَّی اللّٰه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجَنَّةِ وَالشَّهَادَةِ فَدَلَّ عَلَی أَنَّهُم كُلُّهُم كَانُواْ عَلَی حَقٍّ فِي اجْتِهَادِهِم وَكَذٰلِكَ مَا جَرَی بَيْنَ سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عنْهُمَا﴿فَدَلَّ عَلَی تَأْوِيْلٍ وَاجْتِهَادٍ.وَكُلُّ الصَّحَابَةِ أَٓئِمَّةٌ مَأْمُوْنُوْنَ غَيْرُ مُتَّهَمِيْنَ فِيْ الدِّيْنِ وَقَدْ أَثْنَی اللّٰهُ وَرَسُوْلُهُ عَلَی جَمِيْعِهِمْ﴿وَتَعَبَّدْنَا بِتَوْقِيْرِهِمْ وَتَعْظِيْمِهِم وَمُوَالاَتِهِم وَالتَّبَرِّي مِنْ﴿كُلِّ مَنْ﴾يُنْقِصُ أَحَدًا مِنْهُم رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ﴾(الإبانة علی أصول الديانة٬ ص ٢٦٠)

“Apa yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali RA, al-Zubair RA dan ‘Aisyah RA hal itu karena adanya perbedaan pendapat dan hasil ijtihad, dan Sayyidina ‘Ali RA lah yang menjadi pemimpin. Mereka semua termasuk ahli ijtihad. Nabi Muhammad Saw telah menjamin mereka untuk masuk surga. Jaminan Nabu Saw ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar dalam ijtihadnya. Begitu juga yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali RA dan sahabat Mu’awaiyah RA. Hal itu juga terjadi karena perbedaan pendapat dan perbedaan hasil ijtihad. Semua sahabat adalah pemimpin yang terpercaya, tidak dicurigai dalam masalah agama. Allah Swt telah memuji mereka semua. Dan kita diperintahkan untuk mengakui, patuh dan menjaga kehormatan mereka. Serta menjauhkan dri dari orang-orang yang merendahkan martabat mereja RA.” (Al- Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, 260)

Sikap netral yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari tersebut, pada hakikatnya merupakan perwujudan dari sikap tawassuth yang telah diajarkan oleh sayyidina ‘Ali RA dalam pitutur beliau:

خَيْرُ النَّاسِ هٰذَا النَّمَطُ الاَوْسَطُ يَلْحَقُ بِهِمُ التَّالِي وَيَرْجِعُ اِلَيْهِمُ الغَالِي ﴿ لسان العرب، ج ٧ ص ٢٩٩ ﴾

“Sebaik-baik manusia adalah golongan yang bersikap netral. Yang bisa diikuti oleh orang-orang di belakangnya dan menjadi rujukan orang-orang yang berlebih-lebihan (ekstrim).” (Lisan al-‘Aran, juz VII, hal 299).

(baca juga: Membaca Shalawat Seusai Pertemuan)

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa golongan Ahl sunnah wa al-Jama’ah tetap berpegang pada prinsip tawassuth dan tawazun dalam menyikapi perselisihan di antara para sahabat. Yang diwujudkan dengan sikap diam, dan tetap meyakini bahwa sahabat Nabi Saw adalah manusia yang mulia. Karena mereka adalah orang-orang yang pertama beriman dan mengamalkan ajaran Nabi Muhammad Saw. Kalaupun ada kekuarangan pada diri mereka, namun hal itu bisa ditutupi oleh kebaikan  yang mereka miliki.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

Related Post