Kalau lulusan Madrasah Aliyah mendapatkan beasiswa di Timur Tengah dengan spesifikasi jurusan agama, itu sudah biasa karena memang linier. Tapi jika lulusan Madrasah Aliyah memperoleh beasiswa di luar negeri dengan mengambil jurusan pertanian, ini baru luar biasa. Sebab, disiplin ilmu yang satu ini tidak ada benang merahnya dengan agama. Tapi itulah yang dialami Izza Nur layla.
Bukan hanya itu, lima bulan setelah dia mengenyam pendidikan di Thailand, nama Izza –sapaan akrabnya— langsung meroket menyusul keberhasilannya menyabet medali emas dalam kompetisi bidang agribisnis “The 36th National Academic Conference of the Future Farmers of Thailand Organization” yang digelar di Tak College of Agriculture and Technology, Rahang, Provinsi Tak, Thailand Utara (Februari 2015).
Saat itu, Izza berduet dengan Aji Zulfikar asal Pesantren Darul Maarif, Sintang, Kalimantan Barat, berhasil memenangi lomba di kategori demonstrasi keahlian profesional dengan menyajikan tentang sistem penanaman hydroponic. Ajang yang digelar oleh FFT itu sendiri memperlombakan 3 kategori, yaitu kategori pertamanan, demonstrasi keahlian profesional, serta penampilan seni dan budaya nasional. FFT adalah organisasi pelajar berbasis agrikultur se-Thailand.
Izza, memang fenomenal. Ia bersama rekannya –Aji Zulfikar— dapat menyisihkan peserta lain yang berasal dari Filipina, Cambodia, Jepang, dan Tiongkok. Tak heran bila prestarasinya tersebut mengundang decak kagum masyarakat Indonesia. Bahkan, Pelaksana Subdit Pendidikan Pesantren Kementerian Agama RI, Mohammad Zen, terus terang mengungkapkan kebanggannya pada dua santri asal Indonesia itu.
Ya, Izza –sapaan akrabnya– saat ini adalah termasuk penerima beasiswa di sebuah perguruan tinggi ternama di Thailand Selatan, yaitu Agriculture Technology, Pattani Collage of Agriculture Technology and Fishery. Dara kelahiran Jember, 5 Februari 1996 ini, adalah satu-satunya santriwati dari 17 siswa se-Indonesia yang lolos dalam seleksi penerimaan beasiswa di negara gajah putih tersebut (2014).
Bidang Pertanian
Sebetulnya, Izza awalnya tak begitu berminat melanjutkan sekolah di bidang pertanian lantaran back ground pendidikannya adalah agama. Namun ia mengaku punya “talenta” di bidang pertanian. Setidaknya Ini mengacu pada hasil tes IQ sebelum dirinya mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Dari hasil tes IQ itu, nilai Izza di atas rata-rata. Di hasil tes itu pula ada rekomendasi bawha Izza juga cocok di bidang yang terkait dengan pertanian. “Apa jadi pengusaha di bidang pertanian, atau apalah. Yang penting terkait dengan pengembangan pertanian. Itu salah satu saran dari hasil tes IQ tersebut,” katanya.
Selain itu, Izza juga mengaku tak ingin cepat-cepat kuliah. Ia masih ingin mengabdi atau sekedar bantu-bantu kegiatan di pesantren yang ditempatinya, yaitu pondok pesantren Nurul Islam (Nuris), Kelurahan Antirogo, Kab. Jember.
Setelah kelulusan (2014), teman-teman sebaya Izza di MAN Unggulan Nuris, pada mencari tahu tempat kuliah dan siap-siap untuk ikut tes masuk. Namun Izza, tidak. Ia memantapkan hati untuk mengabdi di pesantren dulu. Tapi baru 4 bulan berjalan, dia dikasih tahu oleh pengasuh pesantren (KH. Muhyiddin Abdusshomad) bahwa ada formasi untuk kuliah gratis di Thailand. Awalnya, program beasiswa yang digagas oleh Kemenag RI bekerjasama dengan South Border Province Administration Center (SPBAC) tersebut, tak menarik hati Izza. Namun atas dorongan dari sang pengasuh pesantren, akhirnya Izza melangkahkan kaki untuk mengurus persyaratan ikut seleksi tes beasiswa tersebut.
Dorongan Kiai Muhyiddin terhadap Izza, tentu bukan tiba-tiba. Sebab, di lingkungan pesantren Nuris, Izza dikenal sebagai siswi dengan segudang prestasi. Singkat kata, Izza pun mengamini saran sang pengasuh. Hasilnya, ia lolos bersama 16 pesera lainnya. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Lampung, Batam, Lombok dan Jakarta. “Persaingannya memang ketat, tapi lebih terasa repot saat awal-awal di Thailand. Karena di sini (Thailand) saya dites bahasa Inggris dan akademiknya lebih dalam lagi. Juga harus belajar Bahasa Thai. Waktu di Jakarta saya sama peserta lain juga dilatih bahasa Thai selama empat hari. Di samping mendalami Bahasa Thai, pastinya kita juga mendalami bahasa Inggris, karena kegiatan belajar mengajarnya English program,” tukas Izza. Izza sendiri di Thailand sehari-hari dipanggil Aya, karena bagi lidah masyarakat Thailand, panggilan tersebut lebih gampang dari pada Izza.
Nama Izza Terinspirasi dari Sulitnya Ekonomi
Izza adalah anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan H. Abdd. Roqib dan Futicha. Semuanya perempuan. Di keluarga besar H. Abd. Roqib, pesantren adalah pilihan utama untuk mendidik anak-anaknya. Kakak-kakak Izza adalah alumni pesantren juga. Kalau 3 kakak Izza, semua jenjang pendidikannya dilalui di madrasah, tapi tidak demikian dengan Izza. Di tingkat sekolah dasar, ayah Izza memasukkannya di SDN Kepatihan 01 Jember, yang terletak di sebelah timur rumahnya. “Waktu itu, saya hanya coba-coba, katanya repot masuk sekolah itu, karena sekolah favorit. Tapi alhamdulillah, Izza bisa,” tukas H. Roqib.
Kenyataannya, Izza tidak hanya bisa, tapi beberapa kali mengukir prestasi, mengharumkan nama sekolahnya. Misalnya, Izza pernah meraih juara 2 tilawatil Qur’an se-Kecamatan Kaliwates, juara 3 Fashion antar sekolah, juara 3 Qiro’ah se-Kabupaten Jember. Tidak hanya di bidang keilmuan, di bidang olahraga bela diri, Izza juga merengkuh juara harapan 1 dalam ajang pencak silat antar sekolah.
Setelah lulus SD, tanpa pikir panjang H. Roqib mengirim Izza ke pondok pesantren Nuris, Antirogo. Saat itu, kebetulan pesantren yang terletak sekitar 6 kilometer ke arah utara kota Jember itu, lagi mendirikan MTs. Unggulan Nuris. Dan Izza masuk di situ sebagai angkatan pertama. Di sekolah ini, Izza juga tak senyap dari prestasi. Gadis yang hobi menulis, membaca dan menyanyi ini pernah menggapai juara harapan 3 tartil Qur’an, juara harapan 1 puisi dan juara 3 lomba pidato bahasa Indonesia. Semua event tersebut adalah level kabupaten. Setelah lulus MTs., Izza masih betah di pesantren, dan dipilihnyalah Madrasah Aliyah (MA) Ungguan Nuris. Di sinipun, Izza tak kering prestasi. Ia pernah menjadi juara 2 lomba puisi se-eks Karesidenan Besuki.
Menurut H. Roqib, cita-cita Izza memang agak beda dari keinginan anak-anaknya yang lain. Misalnya, suatu waktu saat masih duduk di MA, Izza pernah mengugkapkan keingiannya kuliah di luar negeri. Bagi H. Roqib, itu bukan keinginan tapi lebih dekat kepada mimpi. Sebab, yang terbayang di benak H. Roqib adalah soal biayanya. “Walaupun agak mengganjal, tapi saya amini keinginan Izza waktu itu,” kenangnya.
Apalagi ganjalannya kalau bukan soal ekonomi atau biaya. Sebab, kondisi ekonomi H. Roqib memang tergolong sangat sederhana. Munculnya nama Izza Nur Layla, terinspirasi dari kesulitan ekonomi yang membelit keluarga H. Roqib. Ketika itu, kandungan istrinya, Futicha sudah memasuki masa melahirkan. Menjelang Magrib (Februari 1996), sakit perut yang begitu hebat mendera sang istri. Tanda-tanda melahirkan sudah begitu dekat. Ia lalu dibawa ke bidan terdekat. Tapi bidan itu tidak sanggup untuk melayani persalinan Futicha. Malah sang bidan merekomendasikan agar ia dibawa ke rumah sakit umum, RSD. Dr. Subandi, Patrang.
Seketika itu, terbayang di benak H. Roqib soal biaya persalinannya. Sebab, saat itu H. Roqib hanya punya uang untuk ongkos bidan. Singkat cerita, Futicha lalu dibawa ke RSD. Dr. Subandi. Begitu masuk pintu UGD (Unit Gawat Darurat), kereta dorong yang membawa Futicha, terhenti sebentar. Pasalnya, H. Roqib tidak mau tanda tangan di atas lembar kesediaan operasi dengan biaya persalinan sebesar Rp. 2.400.000,- Sebab, ia tak punya uang sama sekali. Tapi akhirnya, dengan segala kepasrahannya kepada Allah, H. Roqib lalu membubuhkan tekennya dan menyetujui isi lembaran itu.
Saat itu, Ramadhan memasuki separuh waktu. Begitu istrinya memasuki ruang UGD, malam itu H. Roqib langsung menghilang dari keriuhan dan kecemasan sanak familinya yang mengantar Futicha. Ia menuju tempat yang sepi di sekitar rumah sakit untuk bermunajat kepada Allah agar diberinya pertolongan terhadap kesulitan diri dan istrinya. “Saya mengadu kepada Allah, bahwa saya yang menciptakan adalah Allah, sehingga Allah harus bertanggungjawab terhadap kesulitan dan kelangsungan hidup saya dan keluarga,” ucap H. Roqib menirukan doanya waktu itu.
Karena kondisinya masih lemah, setelah melahirkan, Futicha diharuskan “diam” d rumah sakit selama 10 hari. Namun setelah dua hari, H. Roqib kedatangan seseorang untuk menjenguk istrinya. Orang tersebut ternyata adalah wali santrinya. Ia meminta H. Roqib tidak pusing-pusing memikirkan biaya istrinya. Sebab, semua biaya persalinan istrinya, dia tanggung.
Akhirnya, H. Roqib berkesimpulan bahwa Itulah salah satu hasil kepasrahan, pengaduan dan jeritan doanya kepada Allah. Allah benar-benar agung. Dan di malam itu, keagungan Allah, terbukti. Maka muncullah ide untuk memberi nama bayi tersebut dengan “Izza Nur Layla”. Artinya keagungan cahaya malam. “Itu benar-benar karena keagungan Allah di malam Ramadhan. Nama itu langsung saya berikan, tidak ada pilihan lain. Cuma itu,” kenang H. Roqib.
Sehari-hari, H. Roqib bekerja sebagai pedagang rombeng, yaitu pedagang barang-barang bekas seperti kipas, radio dan lain-lain. Ia membuka lapak di pasar Gebang untuk tempat membeli dan menjual barang dagangannya. Itulah sumber mata pencaharian H. Roqib satu-satunya. Kegiatan lainnya, H. Roqib membuka taman pendidikan al-Qur’an (TPA) di rumahnya, yang setiap sore didatangi anak-anak kecil untuk belajar mengaji. Kegiatan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1986. H. Roqib mengaku tidak ingat siapa saja orang yang pernah diajarinya mengaji. “Saya tidak hafal siapa saja pernah belajar ngaji di sini, karena saya tidak pernah mencatat nama-namanya. Dari awal saya memang berniat cuma ingin agar mereka bisa membaca al-Quran, tanpa pernah meminta iuran seperak pun. Dan saya yakin keberhasilan Izza dan anak-anak saya yang lain karena doa murid-murid saya juga,” ucapnya.
Jangan Pernah Minder
Kondisi ekonomi yang demikian itulah yang membuat semangat Izza semakin kencang untuk meraih yang terbaik dalam hidupnya. Izza punya prisnsip, dalam hal apapun, lebih-lebih yang terkait dengan pendidikan, dirinya harus all out, tidak boleh tanggung. Ia ingin membuktikan bahwa persoalan finansial tidak boleh menjadi kendala dalam meraih mimpi-mimpinya. Ia yakin jika sunguh-sungguh melakukan sesuatu, pasti ada jalan keluar. Kata kuncinya adalah semangat untuk meraih yang terbaik. “Tidak ada orang bodoh. Yang ada adalah orang malas, tak punya semangat, dan enggan mencari peluang. Siapapun kalau punya semangat, insyaallah bisa,” tukas penyuka puisi ini.
Izza mengaku, sejak awal memang mencintai pesantren. Menurutnya, pesantren telah begitu banyak mengajarkan banyak hal. Dari pesantren, Izza mengaku bisa mengerti miniatur tatanan hidup dan pergaulan dalam masyarakat. Hidup disiplin dengan waktu yang tersusun rapi, cara manusia menghadapi watak yang berbeda beda, cara menjalin hubungan yang baik antar manusia maupun antara manusia dan Allah, bagaimana menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat, kemudian bagaimana cara murid menghormati guru sebagai perantara yang Allah kasih untuk menyalurkan ilmu ilmu-Nya. “Semua itu, saya dapatkan di pesantren. Enam tahun saya menjalani itu,” ungkap Izza.
Karena itu, menurut Izza, pesantren adalah merupakan lembaga yang ideal untuk menggodok prilaku anak, mulai dari nol sampai dia mulai masuk fase yang lebih tinggi. Itu semua karena pesantren mempunyai perarutan yang awalnya “dipaksakan” tapi lama-kelamaan menjadi sebuah kesadaran yang muncul dengan sendirinya. Kesederhanaan yang menjadi ciri khas pesantren memberikan kesan yang berbeda dalam pembentukan watak santri. “Dan satu hal lagi yang begitu penting. Belajar di pesantren itu memberikan barokah. Dari aspek keilmuan, barokah tidak berwujud, tapi bisa dirasakan,” tuturnya.
Lama di pesantren dengan pendidikan madrasahnya, tidak membuat Izza mati langkah, apalagi mati kutu di tengah pergaulan atau sebuah forum yang pesertanya berlatar pendidikan umum. Justru, ia merasa mempunyai kelebihan dibanding pelajar yang hanya menempuh pendidikan umum. Kelebihan tersebut adalah pengetahuan tentang agama yang mumpuni dan pengetahun tentang ilmu umum yang cukup. “Saya tidak pernah minder. Dan memang kita tidak boleh minder berhadapan dengan siapapun, karena kita yakin, kita punya kelebihan,” jelasnya.
Keyakinan itulah yang sampai hari ini masih dipegang teguh Izza di perantauan. Ia terus belajar dan belajar. Ia ingin membuktikan kepada pesantren Nuris yang telah memberinya peluang, kepada ayahnya yang telah bersusah payah mendoakan dan membesarkannya, untuk menjadi yang terbaik. Ia tidak pernah alpa belajar. Sebagai penerima beasiswa, Izza berhak menikmati pelayanan yang istimewa selama kuliah di negara yang dipimpin King Bhumibol Adulyadej itu.Living cost, biaya kuliah (full scholarship), ditanggung pemerintah setempat. Selain itu, Izza masih mendapatkan uang saku sebesar 4.500 baht (Rp.1,8 jt-an) setiap bulan. Beasiswa akan ditarik kembali jika IP-nya cuma 2.00. Tapi bukan karena alasan itu yang membuat Izza selalu bersemangat untuk menjadi yang terbaik. “Saya hanya ingin membuktikan bahwa saya bisa,” katanya singkat.
Izza Ingin Aksi Nyata
Sebuah bukti, memang sudah berada dalam genggaman Izza. Paling tidak, keberhasilannya kuliah di Thailand lewat jalur beasiswa, merupakan fakta bahwa Izza yang lulusan madrasah itu juga bisa berbuat sesuatu. Namun dalam jangka panjang, bukti lain yang berupa pengamalan sekaligus penerapan ilmunya sangat ditunggu masyarakat Indonesia. Lebih-lebih Indonesia yang merupakan negara agraris memang sangat membutuhkan tangan-tangan terampil untuk memoles dan memanfaatkan potensi alam sehingga bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. “Tapi kenyataannya, rakyat Indonesia masih belum merasakan manfaatnya yang besar itu,” cetusnya.
Menurut Izza, sesungguhnya Indonesia merupakan negara yang cukup kaya dari sisi sumber daya alam. Areal pertanian dan perkebunan terbentang sedemikian luasnya. Luas sekali. Namun sampai saat ini potensi tersebut belum dikelola secara maksimal, khususnya di wilayah Jawa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tanah Jawa lebih subur dibandingkan tanah di pulau lain. Tapi kenyataanya beras saja masih impor. Pertanian itu sendiri juga tidak bisa lepas dari masyarakat. Peran dan perhatian yang dibutuhkan cukup besar untuk memaksimalkan pengelolaan pertanian. Di sektor ini sesungguhnya banyak peluang yang menjanjikan. Namun Izza menyadari bahwa hal tersebut tidak gampang. Sebab, ada sekian kendala yang membuat sektor pertanian dan perkebunan tidak berdaya guna maksimal dalam mensejahterakan rakyatnya. Diantaranya adalah menyangkut pengetahuan sekaligus keterampilan petani yang terbatas dalam teknik pengolahan tanah dan bercocok tanam, sumber bibit atau benih yang seadanya. Selain itu, prilaku masyarakat yang cenderung instant dalam memproduksi pertanian, yaitu dengan penggunaan pupuk berbahan kimia secara berkepanjangan, ikut menyumbangkan andil bagi menurunnya kualitas maupun kuantitas produksi pertanian Indonesia. Sebab, penggunaan pupuk berbahan kimia secara terus-menerus justru mengakibatkan kerusakan biota tanah, menurunnya tingkat kesuburan tanah, ekosistem yang tidak seimbang, munculnya berbagai hama ataupun penyakit tanaman karena berkurangnya predator hama dan agen hayati penyakit. “Juga sebagian disebabkan adanya praktek agronomi yang keliru atau berlebihan dan tanpa perencanaan yang matang, sehingga kondisi demikian juga memberikan andil dalam pencapaian produksi yang tidak maksimal serta menurunnya produktivitas tanaman pertanian dan perkebunan. Akibatnya produksi pertanian Indonesia kalah dibandingkan dengan produksi pertanian negara Asia lainnya, baik secara kualitas maupun kuantitas,” urai Izza.
Tantangan lain yang juga bisa dikategorikan “menghambat” optimalisasi peran sektor pertanian adalah kurangnya minat generasi muda untuk menekuni bidang pertanian. Bicara soal pertanian, tambah Izza, persoalannya cukup kompleks. Mulai dari kecenderungan prilaku instant petani, bibit yang tidak berkualitas hingga pandangan remaja tentang pertanian. Generasi muda saat ini tidak begitu berminat untuk terjun di sektor pertanian. Salah satu alasannya adalah bidang pertanian kurang prospektif. Hal ini bisa dilihat, misalnya dari kecenderugan pelajar yang mau masuk perguruan tinggi. Secara umum, yang menjadi rebutan adalah jurusan pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya. Padahal, untuk menjadi negara agraris yang handal, dibutuhkan tenaga–tenaga terampil di bidang pertanian, pemikir-pemikir pertanian, dan tentu saja kebijakan pemerintah yang berpihak pada pertanian. “Nyatanya, ilmu-ilmu pertanian, tidak menjadi favorit mahasiswa,” jelasnya.
Sementara itu, pada saat yang sama, generasi muda saat ini begitu dimanja dengan layanan informasi global, yang tak jarang membuat mereka terbuai. Canggihnya teknologi informasi yang seharusnya menjadi salah satu sarana dalam menggali ilmu, mencari peluang, sarana meningkatkan kapasitas diri serta menambah luas jaringan, justru menjadi perusak serta pencekok generasi muda. Tidak sedikit yang menyalah gunakannya dalam hal yang buruk. Contohnya, gadget, yang berhasil memperbudak generasi muda, sehingga mereka berada dalam kegamangan moral. Dalam perkembangan yang sama, telivisi juga tak jarang menjadi racun. Yang disajikan hampir merata di semua channel telivisi adalah tontonan yang kurang mendidik, gossip murahan artis dan sebagainya, bahkan tayangan-tayangan “tidak layak” seakan menjadi tontonan lumrah untuk kategori di bawah umur sekalipun. Seharusnya, tukas Izza, pemilik stasiun televisi tidak hanya mengejar rating, tapi juga mengejar target sosial, dengan misalnya, menyuguhkan profil pemuda teladan, kisah orang-orang sukses, pengusaha-pengusaha militan, dan sebagainya yang intinya mendidik dan dapat membakar semangat generasi muda untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik. “Faktanya, sekarang ini kita tidak sadar-sadar bahwa kita dibodohi. Kita menjadi pangsa pasar pembodohan negara-negara maju. Nah, apakah mereka masih sempat berpikir untuk menekuni sektor pertanian, saya kira sulit. Terus terang, saya risau dengan itu semua,” keluh Izza.
Kerisauan yang dirasakan Izza sesungguhnya merupakan kerisauan jamak yang dirasakan juga banyak kalangan, khususnya yang menaruh perhatian terhadap nasib generasi muda bangsa. Namun merasa galau saja tidak cukup. Bangsa ini butuh aksi nyata, minimal sebagai pelopor kaum remaja dalam mencari jatidirinya dengan kegiatan yang positif. Tidak hanya itu, bangsa ini juga memerlukan aksi nyata yang lain dari kalangan generasi muda untuk menjadi pelopor di sektor pertanian agar Indonesia yang berstatus sebagai negara agraris, bisa benar-benar terasa manfaatnya dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya gaungnya yang terdengar dan statusnya yang populer. Dan Izza telah memulai kedua aksi itu dengan baik.
Kendati demikian, Izza tak pernah muluk-muluk menambatkan cita-citanya. Ia hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat. Keinginan ini terasa sangat sederhana, bahkan terkesan melankolis bagi gadis manis secerdas Izza. Tapi sesungguhnya keinginan Izza itu mempunyai filosofi yang dalam. Muara dari semua cita-cita yang terkait dengan aspek kemanusiaan, sesungguhnya adalah azas manfaatnya. Untuk apa, jabatan mentereng, tapi tak bisa bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Apa gunanya, titel serenteng, namun sang empunya hanya bisa hidup sendiri, tak pernah menoleh kanan-kiri. “Yang penting bukan posisinya, tapi manfaatnya bagi orang lain,” tutur wanita yang masih bercia-cita jadi hafidzoh itu.
Bagi Izza, medali emas yang telah digondolnya, tidak berarti apa-apa tanpa tindak lanjut, apalagi tanpa memberi manfaat di panggung kehidupan nyata. Medali, piala, sertifikat atau apapun, hanyalah bentuk penghargaan atas prestasi yang telah dicapai. Ia tak lebih dari sekedar benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa berbuat dan melakukan sesuatu adalah pemilik penghargaan itu sendiri. Izza, karya-karyamu ditunggu bangsa. Pengabdianmu ditunggu masyarakat. Izza, kau dinanti umat di pagi yang cerah, bukan ditunggu kelak di senja yang merah. (Red: Anam)
*Profil lengkap Izza Nur Layla dimuat dalam buku “Madrasah Mencetak Generasi Emas” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (2015) @Pendidikan Islam.id