Penulis: Achmad Faizal*
Pesantren Nuris – Menjadi guru bukan sekadar takdir atau pilihan sambal belaka. Puluhan ribu guru dicetak setiap tahun di ratusan kampus se-Indonesia. Ini menandakan bahwa guru adalah pilihan favorit—mungkin—sebagian besar masyarakat Indonesia.
Menjadi guru “seolah” mudah bahkan terkadang sering ditemui adanya “penyimpangan” mata pelajaran yang diampu. Entah lah, bagaimana pembaca menanggapi kasus seperti ini?
Termasuk keseriusan pemerintah dalam membangun pendidikan berkualitas pun perlu dikritisi. Pasalnya, sarana dan prasarana sekolah atau madrasah tidak merata, bahkan terkesan timpang dan tidak dipedulikan. Bagaimana peran pemerintah di berbagai daerah bekerja dalam menuntaskan pendidikan yang seadanya itu.
(baca juga: Jejak Guru dalam Cerita)
Persebaran guru yang tidak merata, dan jangan tanyakan mutunya. Sudahlah, rumit sekali. Apalagi jika membahas kesejahteraan guru? Lumayan pusing memikirkannya.
Problematika pendidikan ini perlu terobosan secara massif dan berkesinambungan. Mulai dari kedaerahan, hingga menasional untuk merebut kejayaan yang mengglobal. Sebab, tak bisa memecahkan masalah pendidikan bangsa ini dengan kaca mata Eropa yang suah mapan.
Peran guru adalah langkah pertama dan utama. Menurut saya itu jawabannya. Jika guru di Finlandia adalah profesi kebanggaan (dengan konsekuensi harus lulusan terbaik di kampus pilihan) yang gajinya melebihi anggota DPR atau MPR nya, maka, di Indonesia? Lupakan dulu metode yang Finlandia, karena kita bukan mereka.
(baca juga: Gaji ke-13 Bagi Guru Teladan Nuris, Bukti Apresiasi Yayasan terhadap Dedikasi dan Loyalitas)
Guru di Indonesia harus bergerilya, ibarat strategi perang zaman old para pejuang bangsa kita. Sekalian berperang, di pengungsian atau di pengasingan lebih tepatnya, mereka mengajar meski bukan jurusan dalam keilmuannya. Seperti Soekarno, saat di pengasingan di Pekanbaru, dia mengajar di sekolah Muhammadiyah kala itu, sambil menyusun strategi kemerdekaan.
Menyampaikan ilmu tidak harus berprofesi sebagai guru toh? Tetapi niat dan gerilya sosok “guru” tersebut yang penting dalam memajukan pendidikan. Di saat sengkarut pendidikan dan eksistensi guru yang mendasar semakin rumit, tak perlu lah momok manajerial ala kapitalisme “diangkut” ke Indonesia. Sekali lagi kita bukan Amerika atau Eropa, you know?
Saatnya kita kembali kepada ajaran nusantara, kembali pada estetika lokalitas, kembali kepada kekayaan tradisionalis, kembali kepada Indonesia. Ingat, kita pernah berjaya dengan Sriwijaya, Majapahit, dan lain-lainnya. Termasuk Kyai Dahlan yang memukau membuat metode ajar inovatif dan praktis, Kyai Hasyim yang kharismatik dan istiqomah, dan juga Ki Hajar Dewantara yang berkarakter dan metodologis.
Kita sudah punya pembangun jiwa guru yang ampuh, namun—tak pernah—kita sentuh sebagai acuan demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Hanya bacaan sejarah belaka, tanpa kita mau mengamalkannya. Sebab, mereka mengajar karena kekayaan pengalaman terhadap bangsa dan pengetahuannya. Ini yang membuat mereka selalu sukses mencetak generasi cerdas, patriotik, dan berkarakter.
(baca juga: Guru Kader Nuris, Ini Upaya Pengasuh Dalam Meninggikan Derajat Guru)
Akan tetapi yang utama, saat ini adalah sistem pendidikan Indonesia perlu ditunggangi dengan cara nusantara. Metodologis hasil impor sistem tersebut dengan segala kerumitannya harus dienyahkan (kalau berani atau bisa,hehe). Kita butuh guru yang bergerilya dan militan (meski tak lulusan FKIP, mungkin ya..hmm).
Tantangan pendidikan yang terlanjur berat baik secara internal maupun eksternal saat ini. Mari berpegangan tangan menjadi pendidik yang berbudi luhur. Menjadi sarjana yang sujana bukan durjana (pesan dosen saya ketika yudisium). Siapa pun kalian, mari bersama mengentaskan kebodohan secara bergerilya dan militan berlandaskan kekayaan lokal, kearifan lokalitas, dan kedaerahan yang hakiki demi kecerdasan bersama dan sejahtera. Semoga.
Selamat Hari Guru Nasional yang ke-72. Anda yang berpengatahuan bijak adalah guru bagi semua yang sebenarnya. Ini lah guru yang harusnya eksis di zaman now.[]
*Pengajar Bahasa Indonesia di MA Unggulan Nuris