Penulis: M. Izzul Aroby*
Jika engkau bukan anak Raja atau Ulama, maka menulislah. ( Imam Al-Ghozali )
Ungkapan salah satu filosof Islam di atas tidak berlebihan, karena mayoritas manusia yang dikenang dalam lembar sejarah adalah para penguasa dan orang yang mempunyai banyak jasa (ulama).
Selebihnya adalah pelengkap sejarah yang dengan mudah dilupakan.
Kenapa Al-Ghozali menyuruh untuk menulis? Sederhana saja, umur manusia mempunyai batas dan akan habis jika sudah sampai pada waktunya, berbeda dengan tulisan, sebuah tulisan tidak pernah luntur ditelan zaman.
Sejarah membuktikan, para penulis zaman dahulu namanya tetap abadi terkenang sampai sekarang, Avicenna atau dalam dunia Islam disebut Ibnu Sina adalah pengarang buku rujukan kedokteran berjudul Al-Qonun fi at-Tib. Karena buku tersebutlah nama Avicenna terkenang sampai hari ini.
(baca juga: Eksistensi Guru dan Sengkarut Zaman Now)
Pemikiran Plato yang tertuang di master peacenya (Republik) bisa dinikmati sampai kini karena ide tersebut ditulis, seandainya Plato tidak menulis gagasannya tentang filsafat dan politik, dimungkinkan saat ini kita tidak bisa menikmati pemikiran pemikiran cemerlangnya.
Sebuah tulisan juga bisa dijadikan sebagai senjata untuk melawan atau mengkritik penguasa yang tidak berlaku bijak.
Sebuah adagium menyebutkan “Selain pedang, hal yang ditakutkan penguasa adalah coretan tinta.”
Dalam sejarah bangsa Indonesia, beberapa penguasa dibuat ketakutan dengan hanya sebuah tulisan, masih teringat jelas bagaimana Pramodya Ananta Toer beberapa masuk BUI hanya karena tulisannya yang dianggap menendang haluan pengusa kala itu.
Soe Hok Gie, seorang mahasiswa sastra Universitas Indonesia yang diincar pemerintah karena dalam berbagai tulisannya dia menggangap para penguasa berlaku sewenang wenang dengan demokrasi terpimpinnya.
Sebuah coretan tinta juga bisa menentukan sejarah, masyarakat Rusia era abad Sembilan belas begitu percaya pada tulisan Karl Heinrich Marx yang dibubukan dengan judul Das Kapital, saat itu pemikiran Marx tentang ekonomi politik berhaluan komunis dianut oleh sebagian besar orang Rusia, yang akhirnya malah menjadikan bangsa tersebut hancur pada akhir abad kesembilan belas, Atau pun tulisan R.A Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berhasil mengubah pandangan kaum perempuan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya.
(baca juga: Jejak Guru dalam Cerita)
Begitu hebatnya sebuah goresan tinta, sampai beberapa sejarah Diwali oleh sebuah tulisan. Menghasilkan sebuah tulisan yang berbobot dan bernilai merupakan hal yang tidak mudah, tapi hal tersebut jangan sampai menghalangi niatan kita untuk terus tetap menuangkan ide ataupun gagasan kita dalam bentuk tulisan.
Banyak karya tulis pada awalnya dipandang sebelah mata dan tidak berharga, tetapi seiring berjalannya waktu, tulisan tersebut menjadi fenomenal.
Dalam dunia sastra Indonesia, puisi berjudul “IBU” milik D Zawawi Imron sangatlah terkenal, siapa sangka dulu pada tahun 70-an itu hanyalah sebuah puisi biasa yang tidak dilirik para sastrawan.
(baca juga: Tips Cerdas dan Unik Usir Kantuk di Kelas Ala Santri Nuris)
Para empu zaman dulu ketika membuat kitab tidak berfikir bahwa kitab tulisannya akan menjadi salah satu benda sejarah yang tak ternilai harganya. Jika saja Empu Tantular tidak menulis kitab kakawin sutasoma maka mungkin istilah Bhineka Tunggal Ika tidak akan menjadi semboyan negara kita.
Jadi menulislah.. Sekali lagi menulislah..walaupun banyak yang berkata tentang kejelekan tulisanmu..tetap menulislah.. Setidaknya dengan tulisan, dunia akan tahu, bahwa kita pernah hidup bumi ini. Sambunglah Nyawamu dengan Tulisan
( Promodya Ananta Toer )
Mahasiswa Politeknik Negeri Jember, Alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017