Penulis: M. Izzul Aroby*
Di mana ada statement di situlah terdapat komentar. Era revolusi industri 4.0 adalah era teknologi. Kajian keilmuan sangat marak via dunia maya (media sosial). Tidak terkecuali kajian keislaman, nasionalisme, hingga siapa calon pemimpin negeri. Adu argumen dan gagasan dilontarkan via media sosial. Beberapa ada yang menyampaikan secara apik, runtut disertai data, tetapi banyak yang hanya mengolah kata, berbusa-busa, kosong tak berisi.
Marilah kita lihat media sosial seperti, Facebook, Wastapp, Twitter dan Line. Marak sekali perdebatan perdebatan kusir yang hanya menyajikan informasi setengah matang untuk dikonsumsi publik. Banyak para pengguna media sosial menuliskan ujaran kebencian yang tidak pantas untuk ditulis, memotong fragmenifragmen video untuk memprovokasi, membuat meme-meme untuk menyerang lawan yang tidak sepaham, hingga membuat konten hoaks yang sangat tidak mencerminkan sikap sebagai manusia.
Apabila dibiarkan, hal ini akan bersifat destruktif bagi masyarakat. Secara tidak langsung, mansyarakat yang membuka konten-konten yang berisi ujaran menjelekkan lawan akan sedikit banyak terpengaruh dengan isi konten.
(baca juga: Model Literasi Kebhinekaan, Langkah Proaktif Berantas Hoaks bagi Pelajar)
Membendung dan mencegah seluruh manusia Indonesia untuk berhenti berbuat demikian adalah sesuatu yang sulit. Diri-sendiri adalah filter terbaik untuk membentengi pikiran dari konten-konten buruk yang beterbangan di dunia maya. Lantas bagaimana cara menyampaikan gagasan yang elok dan baik di era sekarang? marilah sejenak bernostalgia ke masa lalu.
Pada era dulu, tersebutlah dua orang ilmuan besar yang disegani. Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dan Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusd. Keduanya merupakan salah satu cendikiawan terbaik di masanya. Al-Ghazali mempunyai pandangan bahwa ilmu filsafat Ibnu Sina mempunyai kesalahan dengan berbagai alasan-alasan tertentu, sehingga terlahirlah kitab karya beliau berjudul Tahafut Falasifah.
Merasa tidak sependapat dengan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd menulis kitab berjudul Tahafut al-Tahafut sebagai bantahan terhadap Tahafut Falasifah karya Al-Ghazali. Sungguh cara yang elegan ditunjukkan oleh Ibnu Rusyd ketika menyatakan ketidaksetujuannya terhadap karya Al-Ghazali.
(baca juga: Dakwah via Media Sosial, Tren Literasi Kekinian Menebar Kemaslahatan)
Sekelumit kisah dapat dijadikan suri tauladan tentang bagaimana menyatakan ketidaksejuan terhadap suatu pendapat. Tanpa menggunakan ujaran kebencian, tanpa provokasi menggalang massa untuk melakukan aksi anarkis, tanpa membuat meme-meme yang tidak pantas.
Beradu argument di media sosial adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Data lengkap, tanpa menyerang personalitas lawan dan menggunakan diksi kata yang santun akan menjadikan adu argumen menjadi baik dan elegan akan menambah pengetahuan bagi para pengguna media sosial.
Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun lulus 2017. Saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Polije.