Keutamaan Malam Lailatul Qodar
Penulis: Muhammad Hamdi, S.Sy*
Pesantren Nuris – Para pemikir fikih (fuqoha’) berpendapat bahwa Lailatul Qodar adalah paling mulianya malam setelah malam kelahiran Sang Pencerah yaitu Nabi Muhammad SAW. Beramal sholih pada malam itu lebih baik dari beramal sholih selama seribu bulan (83 tahun 4 bulan) yang di dalamnya tidak mengandung Lailatul Qodar. Allah SWT berfirman:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ( سورة القدر / 3 )
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”
Lailatul Qodar adalah malam yang penuh barokah, dimana pada malam itu ditetapkan segala urusan manusia.Pada malam itu malaikat berduyun-duyun turun ke bumi untuk mengemban tugas dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُل أَمْرٍ ( سورة القدر / 4)
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan“
Imam al-Qurthubiberkata : Para malaikat turun dari setiap langit dan dari Sidrotil muntaha. Lalu mereka mendatangi bumi dan mengamini do’anya manusia sampai waktu terbitnya fajar. Para malaikat dan ar- Ruh ( malaikat Jibril ) turun pada malam Lailatul Qodar dengan membawa rahmat atas perintah Allah SWT dan membawa setiap perkara yang dipastikan oleh Allah SWT dan menetapkanya pada tahun itu sampai tahun yang akan datang. Tentang keutamaan Lailatul Qodar lagi disebutkan dalam firman Allah SWT berikut:
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (سورة القدر / 5 )
“ Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbitnya fajar “
Maksudnya adalah Lailatul Qodar itu mengandung keselamatan dan kebaikan pada kesemua waktunya, tidak ada kejelekan sama sekali pada malam itu sampai terbitnya fajar.
(baca juga: Syarat Sah Pelaksanaan Salat Jumat)
Imam ad-Dhohhak berkata : Allah SWT tidak menetapkan pada malam itu kecuali keselamatan, sedangkan pada malam yang lain Allah SWT menetapkan bencana dan keselamatan.
Imam Mujahid berkata : Lailatul Qodar adalah malam keselamatan. Syaitan tidak akan mampu unjuk gigi melakukan kejelekan didalamnya.
Disunnahkan menghidupkan malam Lailatul Qodar atas kesepakatan Ulama’ Fiqih. Hal ini disandarkan pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Sahabat Abu Said al-Khudri menceritakan sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir penuh dari bulan Ramadhan. Juga diceritakan dari Sayyidah Aisyah ra. sesungguhnya apabila bulan Romadhon sudah masuk sepuluh malam yang terakhir maka Nabi SAW menghidupkan malam tersebut, membangunkan keluarganya dan mengikat mi’zarnya (kain penutup badan). Beliau melaksanakan hal ini tiada lain kecuali untuk menghidupkan malam lailatul qodar. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang menghidupkan lailatul qodar atas dasar iman dan mencari ridlo Allah SWT maka dosanya yang lalu diampuni” (HR. al-Bukhari)
(baca juga: 10 Sahabat Nabi Muhammad SAW Dijamin Surga)
Menghidupkan malam Lailatul Qodar bisa dengan sholat, membaca al Qur’an, berdzikir, berdo’a dan amal-amal sholeh yang lain. Dianjurkan sekali untuk memperbanyak membaca do’a dibawah ini :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun yang mencintai pengampunan, maka ampunilah aku), sebab ada hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah beliau berkata : “Aku berkata” : Wahai Rasulullah, apakah Engkau mengetahui, apabila aku mengetahui lailatul qodar, apa yang harus aku baca ? Rasulullah SAW menjawab : “ucapkanlah : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي”
Ibnu Allan (penulis kitab al-Futuuhaturrabbaniyyah, komentar panjang al-Adzkar) berkata setelah menyebutkan hadits diatas: “Hadits ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya paling pentingnya sesuatu yang harus dicari adalah terlepasnya manusia dari beratnya beban dosa dan sucinya manusia dari kotornya kecacatan/kesalahan. Karena hanyalah sebab suci dari perkara tersebut, memudahkan manusia untuk masuk pada jalannya golongannya Allah SWT yaitu orang-orang yang beruntung”.
Sumber : Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
*Penulis adalah staf pengajar BMK di MA Unggulan Nuris