Tidak Segera Mengqhodo’i Puasa sampai Datang Ramadlan Berikutnya
Penulis: Muhammad Hamdi, S.Sy*
Pesantren Nuris – Semua ulama bersepakat bahwa setiap muslim mukallaf yang meninggalkan puasa ramadlan, baik sehari atau lebih, baik sebab udzur seperti sakit, melakukan perjalanan, haid dan lain sebagainya atau dengan tanpa udzur, seperti meninggalkan niat (baik sengaja atau lupa) maka wajib baginya melunasi tanggungan puasa tersebut alias mengqadha’nya. Kewajiban qadha’ ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 184-185. Juga berdasarkan pernyataan Sayyidah ‘Aisyah ra bahwa sewaktu beliau meninggalkan puasa karena haid, maka Rasulullah SAW memerintahkanya mengqadha’i puasa tersebut. Khusus bagi seseorang yang meninggalkan puasa ramadhan dengan tanpa udzur, selain wajib mengqadha’inya, dia juga berhak mendapatkan dosa.
Lantas apakah puasa yang wajib diqadha’i ketika ditinggalkan hanya terkhusus puasa ramadlan saja? Tentunya tidak hanya puasa ramadlan, melainkan juga puasa kaffarah dan puasa nadzar. Adapun perihal waktu mengqadha’i puasa ramadlan, setiap orang harus mengetahui ketentuannya, sebab akan ada fidyah (tebusan) yang harus dibayar apabila teledor dalam mensegerakan mengqadha’ sampai keluar waktunya. Waktu dimulainya kewajiban mengqadha’ ramadhan adalah setelah selesainya ramadhan tersebut sampai tiba ramadlan berikutnya. Akan tetapi tidak mencukupi melakukan qadha’ pada hari-hari yang dilarang berpuasa, seperti pada dua hari raya, pada hari yang dijadikan sebagai harinya puasa nadzar dan pada hari-harinya bulan ramadlan berikutnya. Sedangkan apabila mengqadha’inya pada hari syak (ragu), dikatakan mencukupi sebab pada hari syak sah hukumnya melakukan puasa sunnah. Hari syak (ragu) adalah hari ke tiga puluh dari bulan Sya’ban ketika pada malamnya hilal tidak terlihat (padahal keadaan cuaca sedang terang) atau terjadi perbincangan orang-orang perihal hilal sudah dilihat (padahal belum ada satu orang adil atau beberapa anak kecil, beberapa budak dan beberapa orang fasik yang melihatnya).
(baca juga: Acara Muslimatan, Bid’ahkah?)
Menurut selain Madzhab Syafi’i, bagi setiap orang yang memiliki tanggungan qadha’ disunnahkan mensegerakan qadha’ tersebut demi membebaskan diri dari tanggunggan agama dan mensegerakan menggugurkan kewajiban. Perihal mensegerakan qadha’ ini memang disunnahkan, namun ada kewajiban melakukan ‘azm (keinginan kuat) melakukan qadha’ setiap ibadah yang tidak dilakukan dengan segera. Pada batas tertentu, mengqadha’ wajib segera dilakukan, yaitu ketika sisa hari mengqadha’ sampai tiba ramadlan berikutnya sama dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Adapun menurut Madzhab Syafi’i, apabila meninggalkan puasa ramadlan tanpa adanya udzur syar’i, maka qadha’ harus segera dilaksanakan.
(baca juga: Kyai Dawuh, Santri Unjuk Jari)
Kemudian apabila ada seseorang yang mengakhirkan mengqadha’ ramadlan hingga memasuki ramadlan berikutnya, maka dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Menurut selain Madzhab Hanafi, dia wajib mengqadha’nya setelah ramadlan yang dimasukinya tersebut serta wajib membayar fidyah. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi, tidak ada kewajiban fidyah baginya, baik mengakhirkan qadha’ tersebut karena udzur atau tanpa udzur. Terkhusus menurut Madzhab Syafi’i, fidyah bisa berlipat ganda sesuai dengan berturut-turutnya keterlambatan mengqadha’i sampai tiba bulan ramadhan berikutnya pada setiap tahunnya. Bentuk dari fidyah tersebut adalah satu mud makanan pokok untuk setiap satu hari puasa yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang fakir atau miskin.
Sumber: al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Syaikh Wahbah az-Zuhaili
*Penulis adalah Staf Pengajar BMK di MA Unggulan Nuris