Sejarah Sarung

Penulis: Ivan Rafael*

Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari Sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana Internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar  yang pemakaianya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Sepanjang banyak tempat diAsia Tenggara, terutama Indonesia, teknik pewarnaan kuno dikenal sebagai batik digunakan untuk menghasilkan warna dan pola yang khas pada kain dari tiap sarung. Potongan kain dengan bentuk seperti ini sering kali di pakai baik lelaki maupun wanita di Asia, Semenanjung Arab, dan Tanduk Afrika. Sarung adalah pakaian dari komunitas pelut di Semenanjung Malaya dekat Sumatra dan Jawa.

(Baca juga: sejarah lampu lalu lintas)

Menurut Gittinger, sarung lalu diperkenalkan di pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa. Di akhir abad ke-19, seorang pengamat mencatat ketiadaan sarung di pedalaman Jawa. Saudagar laut awal di perairan ini adalah Muslim dari India, dan Islam menyebar melalui wilayah pantai, sehingga diduga sarung di awal kemunculanya mungkin adalah anyaman kotak-kotak, yang biasa diasosiasikan dengan lelaki Muslim.

Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung, Sedangkn kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung. Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting di Nahdlatul Ulama (NU). Suatu ketika, Kh Abdul Wahab Hasbullah pernah diundang Presiden Soekarno.

(Baca juga: sejarah asal-mula hari ibu)

Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacar kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahanya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawananya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.

Penulis merupakan siswa kelas X PK MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post