Oleh: Tazyinatul Ilmiah*
Angin malam berhembus cukup lembut, sesekali menyibak rumput di emperan teras. Cuaca pada malam itu sangat mendukung, semilir angin yang mendayu-dayu seakan menyambut kehadiranku. Pada malam itu aku mengunjungi kediaman bapak Purnomo.
Lelaki tua paruh baya yang cukup dingin dan ramah. Beliau adalah ketua Paguyuban Seni Musik Patrol Jember, orang-orang patrol lebih akrab memanggilnya dengan Pak Pur. Beliau berkata “Nanti jam 7 malam ke rumah, grup patrol saya ada latihan, sekalian saya kasih buku untuk refrensi tulisanmu.”
Yunior salah satu grup patrol yang dilatih pak Pur pada waktu itu. Seraya menunggu pak Pur melatih grup Yunior, aku mengistirahatkan diri di depan rumah sembari menunggu pak Pur selesai melatih grup Yunior. Pak Pur mengatakan grup Yunior akan tampil di depan gedung Bupati Jember pada momen agustusan—tentunya tetap mematuhi prokes yang berlaku.
Setelah selesai melatih aku segera menghampiri pak Pur karena sebelumnya aku sudah berbuat janji dengan beliau mengenai diskusi yang akan aku lakukan mengenai nasib, proses kreatif dan regenerasi grup musik patrol di Jember.
(baca juga: Kiai Muhyiddin Abdusshomad: Fatayat harus Tulis Buku Aswaja)
Pak Pur mengatakan bahwa pandemi sangat berdampak pada para seniman dan grup-grup patrol “Biasanya dalam seminggu kami dapat undangan dua kali tampil, selama pandemi tidak ada undangan sama sekali, hal itu membuat para seniman dan grup patrol sempat krisis ekonomi.”
Namun di balik itu, Pak Pur mengatakan jika pihak pemerintah Kabupaten Jember selalu mengulurkan tanganya pada seniman dan grup patrol, baik bantuan berupa uang dan sembako. Bantuan itu memang khusus untuk tetap menghargai dan memberdayakan para seniman dan grup-grup patrol yang sudah terdaftar di paguyuban Seni Musik Patrol berjumlah 54 grup.
“Para seniman patrol utamanya para penyuling hanya bekerja ketika ada undangan, pandemi ini membuat mereka para penyuling tidak punya pemasukan. Syukurlah, pemerintah melalui dinas pariwisata dan kebudayaan sering membantu kami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Meskipun jarang mendapat udangan dan job tampil, menurut pak Pur grup-grup patrol tetap melakukan kegiatan latihan rutin dan proses kreatif. “Para grup-grup patrol tetap melakukan latihan paling tidak satu minggu dua kali. Pandemi tidak menyurutkan semangat kami untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan Musik Patrol yang alhamdulillah udah di hak patenkan tanggal 24 Juni 2021 sebagai kesenian asli Jember”.
(baca juga: Pesan Harmoni dari Santri untuk Kebhinekaan Indonesia melalui Sastra)
Musik patrol sendiri sangat identik dengan masyarakat Jember. Musik patrol yang sering sekali kita sebut dengan kentongan. Kentongan merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari bambu. Kentongan mengalami inovasi yang pada mulanya terbuat dari bahan bambu beralih menggunakan kayu dari pohon kelapa.
Tak hanya itu, kentongan yang terbuat dari kayu kelapa kemudian dimodifikasi kembali dijadikan sebuah alat pengiring dalam acara Tota’an atau pelepasan burung merpati. Pada tahun 1971 alat patrol yang terbuat dari bambu dan kayu kelapa dikemas kembali di perbanyak menjadi lima buah alat patrol. Pengguna bahan kayu dalam pembuatan alat patrol tersebut tak lagi hanya semata-mata mengandalkan bahan kayu dari pohon kelapa tapi penggunaan kayu mangga juga diperbolehkan.
Pada tahun 1983, untuk pertama kalinya musik patrol dapat dibuat sebuah lagu dengan rekaman. Pada waktu itu masih berupa kaset pita yang mayoritas merupakan karya dari Bapak Misnawara. Setelah terjadi itu banyak sekali Grup Musik Patrol yang terbentuk di Kabupaten Jember.
Barulah pada tahun 1983 alat Musik Patrol melakukan inovasi kembali dengan penambahan seruling menjadi bagian dari Musik Patrol. Karena dala musik patrol seruling dianggap padu dan tidak merusak nada. Juga seruling sangat mendominasi di dalam Musik Patrol, yaitu dengan menggunakan 5 notasi tangga nada (kecuali Nada 4 Fa dan 7 Si) tidak digunakan. Teknik kecepatan tangan dan pernafasan sangat dibutuhkan Do-Re-Mi-sol-la kembali Do (4 Fa tidak dipakai kontrol Ton apabila napas tidak kuat maka antara seruling dan vokal tidak padu)
Pada tahun 1988 alat bertambah menjadi delapan, pada tahun ini festival musik patrol diadakan. Hanya saja pada waktu di Kabupatem Jember hanya terdapat 6 grub musik patrol yang bisa dibilang kreatif dalam pukulan. 6 grub patrol tersebut adalah Hastra 123, Retro 5, Setan Jalanan, Irama Kabut, Touris, Hastra Nada. Pada tahun ini hanya Grup Hastra yang mengikuti sebuah Festival Musik Patrol yang diselenggarakan di Surabaya dan Grup Hastra sebagai nominasi Juara 1.
Pada tahun 1990 barulah di Kabupaten Jember diadakan acara festival musik bernama Gendang Patrol. Pada waktu itu Grup Hastra sebagai Juara. Lanjut pada tahun 2000 Musik Patrol berkembang pesat dengan adanya parade Musik Patrol yang diselenggarakan oleh UKM Kesenian Universitas Jember sampai saat ini.
Kokokan ayam jago di teras rumah mengisi keheningan beberapa detik yang lalu sekaligus menjadi penutup bagi diskusi kami. Aku pun berpamitan seraya berucap terimakasih sedianya Pak Pur lelah seusai melatih Grup Patrol namun karena aku bertutur ingin melakukan diskusi dengan beliau, beliau langsung mengiyakan permintaanku.
Pemberdayaan musik patrol oleh Pemerintah Kabupaten Jember sangat diperlukan pada era pandemi saat ini, selain juga ada tanggung jawab dan amanah besar yang dipegang para seniman musik patrol untuk mewariskan kesenian khas ini pada anak-anak muda. Sebab, tak semua orang dapat bertahan lama ketika grup patrol yang mereka ikuti tidak ada job atau undangan cepat atau lambat, mereka akan alih profesi entah menjadi petani atau pekerja serabutan. Salam Budaya![]
*Penulis adalah siswa kelas XI IPA 3 SMA Nuris Jember, berprestasi nasional, dan aktif sebagai peserta ekskul jurnalistik dan penulisan kreatif sastra