Pondok Pesantren Jadi Solusi untuk Degradasi Moral Pemuda

Penulis: M Faliqul Ulum*

Akhir-akhir ini kita sering dihebohkan dengan kerusakan akhlak dan moral pemuda Indonesia. Di sekolah maupun di luar sekolah. Ini membuktikan bahwasanya pendidikan Indonesia gagal mencetak kader-kader pemimpin bangsa di masa mendatang. Walaupun berhasil sukses di bidang akademis namun mereka belum lulus di bidang akhlak dan moralitas.

Tak terhitung kasus-kasus kriminal serta amoral yang telah dilakukan oleh para pemuda. Tawuran antar pemuda, pemalakan, pembunuhan, pacaran, seks di luar nikah, aborsi dan penyalah gunaan narkoba merupakan headline yang setiap harinya selalu menghiasi surat kabar cetak maupun elektronik. Padahal “pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari”. Namun jika pemuda sudah tidak memiliki moral dan akhlak serta kepemimpinan, lalu siapa lagi yang akan menjadi pemimpin bangsa?

Maka solusinya dibutuhkan lembaga pendidikan selain sekolah yang mampu mencetak generasi muda yang mumpuni dan unggul baik di bidang akademis dan akhlak serta budi pekerti. Pondok pesantren lah jawabannya. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pondok pesantren dinilai masih sangat efektif sebagai benteng pertahanan moral, sekaligus pembangunan akhlak dan pendidikan karakter bangsa dengan pola pembinaan dilangsungkan selama 24 jam.

Adapun tradisi pesantren di Indonesia menurut sebagian ahli sejarah Islam dimulai Sunan Ampel. Sunan Ampel mendirikan pemondokan berupa kamar-kamar bagi santri. Seiring berkembangnya zaman dan merebaknya teknolgi modern, keberadaan pesantren semakin ditinggalkan. Terjadi pergeseran pandangan masyarakat bahwa mencari ilmu bisa didapat dari kitab-kitab terjemah ataupun lewat media internet. Pandangan ini diperparah dengan ambisi dunia atau penguatan ekonomi dibanding mencari ilmu di pesantren. Sehingga perlahan, pesantren pun mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

(Baca juga: aktualisasi prinsip nudalam rangka harlah ke-96)

Merujuk ke ajaran Islam awal, jauh sebelum kewajiban shalat, puasa, haji, dan zakat diperintahkan oleh Allah, kesempurnaan akhlak adalah yang pertama diserukan. Kesempurnaan akhlak adalah tujuan utama agama ini dan menjadi dasar utama Nabi Muhammad SAW diutus. Ini menegaskan bahwa masyarakat tanpa akhlak, tanpa karakter, dan tanpa standar moral maka masyarakat itu menjadi tidak bermakna. Nah, dalam semangat ajaran dasar Islam ini, maka pesantren dapat menjadi solusi dalam membangun karakter bangsa dalam arti yang sesungguhnya.

Dalam dunia pesantrenPelajar yang menimba ilmu di pesantren biasa disebut dengan istilah “santri”. Menurut KH. M.A. Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari Bahasa Arab “santaro” yang mempunyai jama’ sanatir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta’ dan ra’) dimana tiap-tiap huruf tersebut memiliki makna sebagai berikut:

  1. Sin, yang bermakna “Satrul Aurati” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai kebiasaan memakai pakaian yang menutupi aurat yang tak lain menutupi kemaluan yang dianggap sangat vital. Hal terpenting di sini adalah bagaimana santri diajarkan untuk memiliki rasa malu, artinya malu ketika setiap perilakunya bertentangan dengan syari’at dan norma yang ada.
  2. Nun, yang bermakna “naibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadist bahwa “ulama adalah pewaris para nabi). Rasul merupakan pemimpin umat, begitu juga ulama. Sehingga santri yang menimba ilmu di pesantren ditempa agar memiliki kepekaan sosial yang tahu akan problematika umat, serta mampu menyelesaikan problematika tersebut secara arif dan bijaksana.
  3. Ta’, yang bermakna “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar ilmu agama yang dimiliki, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip serta konsisten terhadap pengamalan amar ma’ruf nahi munkar.
  4. Ra’, yang bermakna “raisul ummah” (pemimpin umat). Tugas manusia di muka bumi ini yaitu sebagai khalifah (pemimpin). Jadi santri digembleng untuk menjadi pemimpin yang mampu memberikan perubahan yang positif sesuai yang diharapkan Islam

Gambaran di atas merupakan gambaran dasar dari tujuan pendidikan di pesantren dimana santri ditempa, digembleng menjadi kader yang memiliki karakter, akhlakul karimah, serta menjunjung nilai moral yang berlaku di masyarakat.

Kembali kepada konteks pesantren sebagai solusi degradasi moral pemuda, pesantren memiliki nilai unggul dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya karena beberapa hal, anatar lain : 1) di pesantren para pendidik bias melakukan tuntunan dan pengawasan secara langsung terhadap santri; 2) di pesantren para santri dapat melihat akhlakul karimah sang Kiai sebagai role model yang layak untuk diteladani sebagai upaya pembentukan karakter diri.

Hal ini tentunya sangat dibutuhkan oleh para pemuda yang saat ini mengalami “miskin contoh”, sehingga kejadian-kejadian seperti korupsi, suap-menyuap, dan kejadian buruk lainnya akan dianggap menjadi hal yang tabu; 3) masjid sebagai pusat interaksi ritual dan spiritual; 4) pengajian sebagai aktivitas sosial, intelektual dan spiritual; dan 4) asrama sebagai wahana komunikasi sosial dan kultural dalam komunitas santri. Selain itu di pesantren juga banyak diajarkan pelajaran tentang pendidikan karakter, akhlak dan moral yang diambil dari kitab klasik karya ulama Salafush Shalih yang menjadi dasar pedoman perilaku santri baik ketika masih di pesantren maupun ketika telah lulus dari pesantren dan memulai kehidupan bermasyarakat.

Pendidikan pesantren adalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan syari’at agama Islam, filsasat, ideology, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Konteks ajaran Islam hakikat pendidikan karakter adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia dengan bimbingan Al-Qur’an dan assunnah (Hadist) sehingga santri diharapkan menjadi manusia yang berakhlakul karimah. Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan karakter betul-betul diperhatikan secara maksimal yang didukung dengan kegiatan pembelajaran yang sepenuhnya waktu 24 jam, siang dan malam. Bukan hanya berupa teori tetapi juga praktek secara langsung.

Kesimpulan dari semua uraian di atas yaitu pesantren pola pendidikan serta dengan  lingkungan yang kondisif yang ditawarkannya, maka pesantren selama beberapa waktu ini ”terpinggirkan”, selayaknya menjadi pilihan masyarakat  karena terbukti pesantren dapat memberikan solusi dalam mengatasi degradasi moral yang dialami kaum muda sebagai calon penerus pemimpin bangsa ini. Wallahu a’lam bis shawab .

Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember

Related Post