Kebangkitan Santri hingga Hari Kebangkitan Nasional
Penulis: Achmad Faizal*
Pesantren Nuris – Bulan Mei masih menyimpan harta karun yang berlimpah. Banyak momen yang terlewati dan harus kita resapi setiap momen itu sebagai pemacu untuk bersikap lebih bijak dalam menyikapi soal kekinian. Mulai dari May Day ‘Hari Buruh’ pada 01 Mei, Hari Pendidikan Nasional pada 02 Mei, hingga Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2018 sekaligus awal bulan Ramadlan 1439 H. Kali ini, tepat hari Ahad, 20 Mei 2018 saatnya kita sejenak memutar ingatan terhadap masa-masa perjuangan kebangsaan hingga akhirnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sekadar merenungi bagaimana pemuda pada masa 20 Mei 1908 kala itu, mereka bersinggungan dengan penjajah yang merongrong kekayaan Indonesia. Demi menyelamatkan masa depan bangsa, lalu terpikir untuk membuat sebuah badan yang menaungi aspirasi bangsa untuk menyatukan visi persatuan yakni, kemerdekaan. Muncullah organisasi Budi Oetomo yang didaulat oleh dr. Wahidin Sudiro Husodo, dr. Sutomo dkk. Melalui organisasi ini lah, sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai.
(baca juga: Pemuda dan Organisasi)
Meski ada fakta disebutkan, Budi Oetomo hanyalah organisasi elite khusus bangsawan kala itu (kalangan suku Jawa dan Madura). Seiring berjalannya waktu, organisasi Budi Oetomo terus mencakarkan tajinya dalam pergelutan politik dan membuka keanggotaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semangat persatuan dan kesatuan atas keragaman bangsa dan rasa sepenanggungan atas ketertindasan penjajah (Belanda saat itu), itu lah titik balik perjuangan Budi Oetomo sejak tahun 1915. Sejak itu, ibarat persebaran jamur di musim hujan, perjuangan pemuda terus tumbuh dan tersebar ke seluruh penjuru nusantara untuk Indonesia raya.
Budi Oetomo memanglah dahsyat, kehadirannya bak motor pendorong dalam melahirkan harapan kemerdekaan bangsa. Namun, dalam ulasan sejarah kebangsaan lainnya, Budi Oetomo bukan lah satu-satunya perintis dalam menyikapi ketertindasan penjajah. Tiga tahun sebelum berdiri Budi Oetomo, tepatnya 16 Oktober 1905, muncul sebuah organisasi yang mampu menandingi dan meresahkan penjajah yakni, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi.
SDI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat Islam (SI) melakukan kongres pertama di Solo pada tahun 1906 di Solo. Kemudian terpilih ketua umumnya yakni, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Sejak kepemimpinan sosok yang dijuluki guru bangsa inilah yang memulai perjuangan untuk memerangi penjajah melalui pemikiran dan pergerakannya. SDI atau pun SI ini diinisiasi oleh kalangan santri, maka tak heran perjuangan kemerdekaan bangsa bukan hanya soal peran priyayi seperti Budi Oetomo. Tjokroaminoto adalah cucu KH. Hasan Bashari, ulama terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat pada masa sebelum 1900an.
(baca juga: Pragmatisme; dari Mie Instan hingga Ustazah Nani Handayani)
Kebangkitan Budi Oetomo adalah tonggak estafet yang telah dimulai oleh SDI atau pun dikenal dengan SI. Nilai keluhuran dan keprihatinan terhadap ketidakadilan penjajahan Belanda inilah yang membuat Tjokroaminoto, seorang bhumiputera Islam, menggalang kekuatan rakyat nusantara untuk merebut kemerdekaan. Ini adalah rangkaian singkat sejarah bagaimana pemikiran pemuda masa dahulu telah menyiapkan gerakan kemerdekaan dalam bingkai keberagaman.
Sebab Bangsa Indonesia takkan pernah menjadi monopoli rakyat mana pun. Kita memiliki bangsa Indonesia bersama-sama atas perjuangan dan asas kesamaan rasa serta sepenanggungan. Kini masa telah berganti, santri, priyayi, atau siapa pun telah melebur dalam Bhineka Tunggal Ika. Santri tetap istiqomah dalam membangun keberagaman di bumi pertiwi. Tak perlu lagi curiga atas kiprah kaum sarungan ini, meski terkadang santri dibuat kedok oleh beberapa kesesatan kepentingan semacam teroris dewasa ini. Itu bukan santri. Sebab santri adalah ketawadu’an atas ilmu yang diajarkan kyai, patuh atas ajaran nabi yang murni, dan kehidupannya bukan hanya soal hingar duniawi, melainkan tujuannya adalah ridlo ilahi robbi. Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2018!
*staff pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris