Selendang Merah

*Oleh: Anida Balqis

Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember kelas X B*

“Warna dalam kehidupan seseorang itu pasti punya makna tersendiri, tak sedikit orang yang menyukai suatu warna karena ada sebuah kisah yang terselip dalam warna itu” “Deg…Deg..Deg…” Detak jantung berpacu mulai melambat, hembusan nafas yang menjadikan pekatnya malam sebagai saksi dari kematian. “Ttit….” Malaikat itu telah mencabut nyawa sang bidadari, membawanya kembali pada sang Maha Kuasa, sang pemilik takdir kehidupan dan kematian.

*     *     *

Pemuda itu saat ini sedang tertawa ria, berkumpul bersama teman sebayanya. Ditemani oleh bintang gemintang yang turut berkedip mengikuti keriangan mereka, menjadikan sang bulan iri terhadap keceriaannya. Bersenandung indah dengan berisik dedaunan yang dibelai semilir angin malam. Sang jangkrikpun enggan mengeluarkan suara emasnya, takut mengganggu kehangatan dalam aura perkumpulan para malaikat.

“Terimakasih Tuhan untuk keceriaan malam ini.” Gumamnya sembari tersenyum pada teman-temannya. Hingga tersadarlah mereka, dan perkumpulan kebahagiaan itu kembali pada kamar masing-masing, kecuali seorang pemuda itu.

“Raka.” Nama itulah yang sering dibisingkan oleh para pemuda di pesantren tersebut. Raka Ardiansyah, sosok yang terkenal begitu ramah, baik, sopan, patuh, dan selalu rajin dalam ibadahnya. Senyum cerianya selalu membuat siapapun ingin menjadi teman baiknya. Orang yang tampak tak pernah mempunyai permasalahan hidup. Keinginannya menjadi seorang TNI yang berjuang demi Bangsa begitu terpatri dalam dirinya. Tapi dibalik semua cerianya, dibalik semua ketegarannya terselip kisah yang begitu memilukan, yang menjadikan dia sebagai sosok yang teguh dan kuat akan segala cobaan.

Gemeriak air mengalir indah, memecah sunyi pada malam berbintang. Hawa dingin yang turut membalutnya, semakin menusuk tulang belulangnya. Terbasuhlah air itu pada wajahnya yang teduh, menghadaplah dia pada sang pencipta, menengadah memohon pada sang pencipta.

“Ya Allah, semoga engkau memberi kesembuhan pada bunda hamba.” Bisiknya pada sang kuasa. Lantunan ayat suci al-Qur’an beriringan membelai malam, menemani bulan tepat berada ditengah.para malaikat turut turun berbondong mengintip dan berdesakan menatap pemuuda itu. Seiring berjalannya waktu, tertutuplah kitab suci itu dan berganti oleh sebuah buku yang akan menentukan hasil ujiannya esok . Hingga tanpa sadar ia terbenam pada buku-bukunya dan terbuai pergi ke alam mimpi yang indah, berjalan menyusuri indahnya alam khayal.

Padi itu mentari tersenyum cerah, membalut cahaya emas yang ada dipandangannya. Bebungapun merekah indah ditemani kristal embun yang menjadikan dia salah satu primadona. Indah,menawan, membuat siapapun yang meliriknya selalu ingin ada di dekatnya. Burung kutilang bersahut mesra, menambah keramaian pada pagi ini. Sesungging senyum  terlukis indah dibibirnya. Raka dan beberapa temannya sedang bersiap untuk perang, yang akan menentukan masa depannya. “Ya Allah, kuserahkan semuanya paada engkau” gumamnya dalam hati. Dia melangkahkan kakinya menuju tempat yang biasa disebutnya sekolah yang jaraknya tak terlalu jauh dari asramanya.

Pertempuran antara dirinya dan ilmu yang telah didapatnya kian berlangsung. Suasana senyap tercipta, semua terfokus pada kertas yang ada dihadapannya masing-masing. Detik, menit, dan jam terus berlari mengikuti matahari yang kian menjulang naik. Tepat pukul 10.00 pertempuran untuk hari ini usai. “Raka kamu dikirim yuh di kantor!” salah satu temannya memanggilnya. Secercah senyumnya menuai indah, buru-buru dia menyusuri tangga sekolah, kemudian mencium punggung tangan orang paruh baya. “Ayah bagaimana kabarnya?” itulah sambutan pertama darinya, dari seorang anak yang begitu berbakti pada ke-2 orang tuanya. “Alhamdulillah baik, nak. Kamu ikut ayah ya pulang sebentar” pinta ayahnya.wajah yang semula dipenuhi senyum kini berubah menjadi kecemasan. Jantungnya berdetak kencang berpacu dengan keras hingga dapat terdengar ditelinganya sendiri. Pikirannya langsung terbang, terbayang wajah sang bidadari yang akhir-akhir ini sedang terbaring lemah. Tanpa banyak pertanyaan yang mencuat dari bibirnya, ia langsung pergi menuju kelasnya. Dadanya terasa sesak hingga tanpa sadar bulir kristal indah itu turun menyusuri pipinya.

Bidadari itu terbaring lemah disebuah ruangan. Seluruh tubuhnya seolah  tak bisa digerakkan. Beberapa selang tertancap ditubuhnya, pendeteksi jantung itu selalu berbunyi.

“Raka, gimana nak sekolahnya?” Tanyanya setiba melihat putranya datang. “Alhamdulillah bun, baik” jawabnya sambil tersedu-sedu.

“Raka, putra ibu, Raka anak laki-laki yang kuat, yang tangguh, seperti sosok tentara, seperti warna MERAH pada sang pusaka, dan Raka anak laki-laki bunda yang pemberani” ucapnya terbata-bata, wajahnya yang syahdu selalu bisa menenangkan hati siapapun yang menatapnya.

Buliran air matanya tak sanggup lagi untuk terbendung, senyumnya merekah dibibirnya mencoba menenangkan anak sulungnya itu. Raka hanya terdiam, tetapi tetap membiarkan tangisnya pecah membasahi bibirnya.

“Raka, umur bunda tak akan lama lagi, bunda titip keluarga ya!” Ucapnya.

“Bunda gak boleh bilang gitu! Bunda pasti sembuh” Yakinnya.

“Raka, maaf selama ini ayah sama bunda merahasiakan ini dari kamu. Sebenarnya bunda sedang mengidap penyakit kanker darah stadium empat dan dokter memvonis bunda umurnya tak lama lagi” jawab sang ayah. Tangisnya semakin menjadi.

“Raka berjanjilah pada bunda, selalu berbakti pada orang tua, jangan lupa rajin ibadah, dan selalu patuh pada perintah guru” Pinta sang bunda.

“Iya bunda, insya”Allah Raka janji” Jawab Raka pasti, ingin membuat ibundanya tak kecewa.

Dokter masuk, membubarkan kehangatan keluarga pada siang itu, kemudian dokter memeriksa keadaan bunda. Setelah memeriksa untuk pertama kali wajah dokter itu terlihat bingung, kemudian ia memeriksa lagi hingga beberapa kali.

“Sungguh ini sebuah keajaiban, keadaan ibu Ratna sudah membaik, jantungnya sudah kembali normal tanpa bantuan oksigen” ucap dokter dengan senyum sumringah.

“Bunda….” Raka langsung memeluk ibunya yang hanya berselang infus ditangannya. Beribu ucap syukur terlantun dibibir pemuda itu, tiada hentinya ia bertasbih pada sang kuasa.

Sinar mentari senja tumbuh di sebagian bumi, menerobos masuk kedalam ruangan 4×4 meter. Pemuda itu baru usai mengaji, lantunan ayat suci yang ia bacakan didekat bidadarinya, yang saat ini sedang tersenyum melihat kerajinan ibadah putra sulungnya.

“Ya’Allah terimakasih sudahmemberi seseorang malaikat kecil yang selalu beribadah kepada_Mu” Gumam sang bidadari sembari tersenyum.Raka mencium tangan bidadarinya.

“Raka, bunda ingin keluar ruangan, ingin menikmati indahnya alam sang kuasa, Raka maukan  menemani bunda?” Pinta bunda pelan.

“Raka mau bun, tapi apa bunda sudah benar-benar kuat?” Tanya Raka sekali lagi.

Bundanya tersenyum memaksa, membuat hati sang pemuda luluh dengan kemauannya. Diapun meminta tolong perawat untuk membantu sang bunda duduk dikursi roda.

Sinar jingga mentari menyelimuti bumi, berseru dengan angin sepoy yang menenangkan jiwa. Rerumputan di taman rumah sakit itu melambai indah, bunga-bunga merekah menyebarkan bau harumnya yang semerbak. Dia terus mendorong kursi roda itu ketempat sang bidadari menginginkan. Berlututlah dia di hadapan sang bunda, sedang sang bidadari terpejam, menghadapkan wajahnya ke langit, seolah rindu pada kayangan. Malaikat kecil tak berani mengganggunya membiarkan suasana senja menenangkan pikirannya.

“Raka sayang!” panggilnya pelan seolah hanya dia dan malaikat kecilnya yang tau. Mentari terlihat iri melihat kehangatan mereka.

“Iya bunda!” Jawab Raka.

“Bunda ingin sekali melihat putera bunda sebagai seseorang yang berguna untuk bangsa, menjadi seseorang yang setia membela sang pusaka, dan membantu mengalahkan para kaafirun yang ada dimuka bumi. Bunda ingin kamu menjadi pahlawan bagi keluarga,  negara, dan agamamu.”

Si malaikat kecil menoleh mencoba berani menatapnya.

“Bunda, apapun yang bunda inginkan sebisa mungkin akan Raka wujudkan, asal bunda berjanji akan menemani Raka.” Bundanya tersenyum sambil mengangguk.

Mentari semakin melambaikan tangannya, mengucapkan selamat tinggal pada hari ini, hari yang memiliki banyak kisah dalam hidup, penuh akan nasihat dari sang kuasa. Senja menyising, ingin segera kembali ke singgasananya.

“Bunda, kita kembali ya!” Ajak sang putera.

Bunda mengangguk pelan, Raka pun membawa bidadarinya ke tempatnya, meminta sang perawat agar mengembalikan bidadarinya untuk merebahkan dirinya. Bunda kembali tersenyum pada malaikat kecilnya.

“Bunda istirahat dulu ya!” Ucapnya sembari mencium kening bidadarinya.

“Raka, sayang! Jika suatu saat nanti ibunda tertidur dan tidak terbangun, bunda minta Raka jangan menangis, karena sang pahlawan itu tak kan pernah menangis. Sang api membenci air, dan merah itu adalah yang terpatri di jiwamu” pesan bunda.

“Bunda, jangan bicara seperti itu bunda. Bunda! Raka akan buktikan, Raka bisa menjadi apa yang diharapkan bunda. Percayalah bunda, Raka akan mempersembahkan ribuan atau bahkan seluruh mayat umat kafir di depan bunda” ucap Raka yang semakin tak kuasa menahan bendungan air mata dipelupuknya.

Tangan bunda bergerak, mencoba untuk diangkat. Raka semakin mendekatkan wajahnya pada sang bunda.

“Raka, bunda selalu ada bersamamu, ingat pahlawan tak pernah menangis” tanyanya menghapus pipi yang sudah di banjiri air mata.

“Ya sudah bunda ingin istirahat dulu” Dia pun memejamkan kedua matanya yang sayu.

Rasanya Raka juga ingin tertidur, terbuai dengan mimpi-mimpi indah yang menantinya. Tapi hati terlalu cemas menanti, takut sang bidadari hilang entah pergi kemana. Sang anggun senja telah hilang dari pandangan, menyambut sapaan malam yang diiringi hadirnya sang rembulan. Kumandang adzan silih berganti dari dari masjid-masjid. Segera dia, sang malaikat dan ayahnya mengambil wudhu’, dan saat hendak bersiap pergi ke masjid terdekat.

“Raka.., ayah.., bunda ingin berjamaah dengan kalian, boleh?” Pinta sang   bidadari.

Raka dan ayahnya tanpa segan berjamaah dengan sang bidadari., terasa begitu hikmat dan syahdu. Sang rembulan iri menatap ketaatan pada kehidupan keluarga tersebut, yang selalu menjadikan Tuhan sebagai kehangatan keluarga mereka. usai shollat, sang bunda yang tetap terbaring di ranjangnya memanggil sang buah hati

“Raka sayang, kembalilah nak ke pesantren, tempat di mana kamu menuntut ilmu, tempat mustajabah untuk selalu bermunajat pada Tuhan” Pinta bunda dengan tulus.

“Tapi Raka masih mau menemani bunda sampai sembuh” Dia mengutarakan keinginan hati kecilnya.

“Bunda akan sembuh, bukankah itu yang dari tadi Raka katakan pada bunda. Tidak usah hawatir sayang, masih ada ayah dan Tuhan yang akan menemani bunda.”

Disudut ruangan ayah hanya tertunduk, tersimpan raut wajah yang sedih, butir matanya tak dapat disembunyikan. Isakan tangis memenuhi ruangan itu. Raka menuruti permintaan bidadarinya, dia dan ayahnya kembali ke pesantrennya. Setibanya disana ia langsung bermunajat pada sang Esa, memohon dan meminta belas kasihnya, mengucap beribu kalimat syukur atas keadaan ibundanya yang membaik.

Keesokan paginya, suasana tak begitu cerah, seolah tahu isi hati sang titisan malaikat. Wajah yang biasanya dipenuhi keriangan seolah pudar tersapu tsunami cobaan. Hatinya begitu pilu mengingat nama penyakit yang diderita ibundanya. Sekolah berjalan seperti biasanya, hanya saja kali ini pikirannya terlalu fokus pada sang bunda yang sedang terbaring lemah di ranjang sana. Hingga sebuah suara salam yang tak asing membuyarkan lamunannya. Lelaki yang tak asing itu berbicara dengan gurunya, hingga Raka diperkenankan untuk  pulang. Pikirannya berkecamuk antara perasaan negatif dan perasaan positif, tapi selalu banyak yang hadir adalah yang negatif.

Lantunan surat yasin telah mengiringi kedatangannya, seketika kakinya langsung terasa lemas, semua sendinya terasa tak berfungsi. Dengan berat dan perasaan takut dia mendekatkan dirinya pada tubuh yang terbujur kaku, tertutupi oleh kain. Raka membuka perlahan kain yang menutupi wajah itu, tangisnya pecah seketika.”Bunda….!” semua terasa gelap dan Raka tak sadarkan diri.

Raka terduduk disebuah tempat yang asing baginya, semuanya bernuansa putih.

“Raka sayang!” belaian lembut menyapa rambut indahnya hingga ia menoleh dan berdiri. “Bunda!” senyumnya sumringah. “Raka, bundakan sudah berpesan pada Raka. Jadilah seorang pahlawan yang tak pernah menitihkan air mata, Raka bunda mohon, Raka harus jadi anak yang kuat. Harus jadi anak yang bisa membanggakan bunda, Raka percayalah disebuah pertemuan pasti ada perpisahan. Dan ingatlah setiap yang bernyawa pasti akan meninggal.”

Raka memeluk bundanya, begitu hangat ia rasakan. Bunda tercinta membalas pelukan itu hingga matanya kembali terbuka dan tersadar bahwa semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang terasa realitanya.

*              *

“Ya ampun Raka, maaf aku nggak tau kalau… kalau… kamu itu…”

“Sudahlah, semua itu sudah berlalu.”

Malaikat kecil itu sekarang sudah menjadi sosok yang dewasa.

“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Bianca.

“Dia menikah lagi dan sekarang sudah hidup bahagia bersama keluarganya” jawabnya.

Ada sedikit raut wajah kekecewaan ditampangnya. Bianca hanya menutup mulutnya, tak mampu lagi ia berkata-kata. Tangisnya sudah membanjiri paras cantinya.

“Ya Tuhan, begitu hebat hambumu ini” gumam Bianca.

“Tapi bukan karena ayahku yang pergi meninggalkanku begitu sajayang membuat aku kecewa. Tapi aku kecewa pada diriku sendiri, aku masih belum mampumemberi kebahagiaan dari kesuksesanku untuk bunda.” lanjutnya yang juga turut mengusap air matanya yang mengalir dipipinya.

“Tidak Rak aku yakin suatu saat kamu pasti akan mampu mewujudkan impian bundamu. Percayalah dilangit sana bundamu tetap memantaumu” Jawab Bianca

“Belum Bianca, aku belum……” ucapnya terhenti. Tatapannya kosong, tampak penyesalan diraut wajah manisnya.

“Aku belum sempat meminta maaf padanya, belum sempat mencium surga ditelapak kakinnya”

“Tapi itu sudah percuma, bidadariku sudah terbaring ditanah. Terakhir ku lihat wajahnya begitu teduh dan bibirnya merekah senyum, seolah dia sudah bahagia di surga sana.” Lanjutnya.

“Sudahlah Rak, aku yakin tanpa diminta bundamu pasti akan memaafkan semua kesalahanmu” Bianca mencoba menenangkan hati Raka.

Raka dan Bianca memanglah teman dekat yang berawal dari sebuah pertengkaran dan kebencian.

“Oh ya, aku lupa aku harus mengumpulkan ini ke T.U, mau bantu?”

Raka dan Biancapun menyusuri koridor sekolah dengan tumpukan buku yang ada diatas tangan mereka masing-masing. Keluar dari ruang T.U, Raka menatap ke luar gerbang. Kemudian dia berlari.

“Bunda….” teriaknya.

“Braaak!” kecelakaan tak bisa dihindari.

“Raka!” Bianca berteriak dan langsung berlari menuju arah Raka.

Tangisnya menemani larinya, Bianca langsung mengangkat kepala yang berlumuran darah itu dan merebahkan dipahanya, tangisnya semakin menjadi.

“Bianca……A….Aku…. ingin mem… beri… selendang merah ini kepadamu, selendang merah ini merupakan wasiat dari ibundaku untuk diberikan pada seseorang yang begitu aku cintai. Dan maaf jika selama ini aku diam-diam mencintaimu. Dan kelak jika engkau menikah, gunakan selendang merah ini. Tapi setidaknya di akhir hidupku ini seseorang yang aku cintai telah mengetahui isi hatiku” ucapnya terbata-bata.

Bianca hanya dapat menangis sembari menerima selendang merah itu.

“Mungkin saat ini kita tak dapat bersama menjalani sebuah janji suci, tapi percayalah aku menunggumu di surga bersama ibundaku.” tambahnya.Nafasnya semakin tak teratur hingga……

“Bunda telah menjemputku, Bianca aku mencintaimu karena Allah.”Berakhirlah perjuangan sang titisan malaikat.

“Raka…. kembalilah! Aku juga mencintaimu.” Bianca berteriak histeris.

Gundukan tanah merah masih membasah, bertabur indah bersama bunga mawar dan kenanga. Didalamnya, terdapat sosok yang menakjubkan, sosok bertitisan malaikat tersenyum diperistirahatannya. Gadis berselendang merah itu masih terduduk didekatnya, memandang dengan tangis batu nisan yang berukiran sosok yang begitu dicintai dan mencintainya. Sang angin menemani dua insan yang terpisah karena alam.

“Raka, kamu sudah banyak memberiku pelajaran hidup, menesahati dalam setiap salah tingkahku, mengajariku menjadi sosok yang sabar dan tegar dalam menghadapi lika-liku dalam kehidupan. Secara tidak langsung engkau sudah membuktikan kepada bidadarimu tercinta, engkau telah menjadi seorang pahlawan . telah membuat beribu orang kembali pada agama ilahi. Kekasihku… Tuhan pasti memberi tempat terbaik untukmu, tunggu aku di surga. Aku akan kembali.”

 

Related Post