Micro Blood Moon, It’s Truly Moment of Perfect Story

Micro Blood Moon, It’s Truly Moment of Perfect Story

Oleh: Achmad Faizal, S.S.*

Di masa kecil, fenomena gerhana bulan seolah sesuatu yang menyeramkan. Konon Barata Kala, makhluk raksasa jahat bergentayanag dan sedang amarah sehingga menelan bulan. Seketika, alam menjadi gelap tanpa cahayanya. Termasuk suhu alam yang akan terasa lebih hangat, angin mendesau lirih, pantai berdebur pasang sampai bahkan banjir.

Barangkali pembaca yang budiman merasakan seperti itu di masa kecilnya? Sebelumnya, judul tulisan ini juga dibuat sedemikian bukan tanpa alasan meski mungkin pembaca kira isi tulisannya juga berbahasa asing. Penulis hanya ingin mengajak pembaca mengenang masa kecil dan bernostalgia akan ingatan betapa seolah sakralnya momen gerhana itu.

Seiring dengan kekinian, pemberitaan media nasional bahkan internasional, perkembangan teknologi dan sains modern, seperti mengubah paradigma yang dulu telah terbangun soal gerhana. Fenomena yang tergolong istimewa ini malah menjadi suatu yang dinanti, diviralkan, bahkan menjadi tontonan semua masyarakat. Tak ada lagi kesan sakral.

(baca juga: Perancis Juara Dunia 2018; Negara (bukan) “Ekspansi” Muslim dan Pesan Harmonisasi Kultural)

Tentu ini bukan masalah meski tak lagi sakral, toh bagaimana kita memandang bijak fenomena ini saja menjadi momen sebenarnya atas kuasa dan iradah Allah SWT. Seolah mitologi terpecahkan oleh terobosan dan penjelasan sains yang empirik dan rasional.

Di sini lah penulis—atas dasar keputusan BMKG pusat, pakar falakiyah NU, bahkan astronom internasional—mengungkapkan bahwa gerhana bulan yang kemarin, 28 Juli 2018 terjadi sebagai Micro Blood Moon, menjadi suatu yang fatual dan total. Sesuai kan dengan judul yang penulis harapkan soal gerhana yang kemarin asyik menjadi tontonan angkasa yang terhampar di altar langit dini hari yang indah.

Konon, menurut Plt Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Setyono, bahwa fenomena gerhana bulan ini yang terlama dalam sepanjang sejarahnya (sejam lebih), terutama yang terjadi di sepanjang tahun 2018. Hal ini karena bulan berada di posisi terjauhnya dari bumi, dan di langit tampak terdapat 2 cahaya yang mengidentifikasi bulan dan planet Mars yang kebetulan posisinya berdekatan/bersimpangan. Terlebih katanya momen ini akan terjadi seabad sekali.

(baca juga: Hari Anak Nasional 2018, Persimpangan Jalan Arah Masa Depan Bangsa)

Dari kecanggihan sains dan perkembangan teknologi, kejadian gerhana terprediktif serta dapat diamati dengan temuan teleskop yang semakin canggih. Namun, kali ini skala bulan yang dapat diamati mengalami penurunan menjadi 14 % dari biasanya. Sungguh fenomana alam yang sangat menghibur pastinya, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, dan dalam Islam kita pun disunnahkan salat gerhana.

Iradah Allah selalu ada kausalitasnya, sudah sejatinya kita mengagumi kebesaran-Nya beserta melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan serta mengistiqomahkan sunnah Rasulallah SAW. Tentu banyak hikmah atas peristiwa gerhana ini sehingga kita disunnahkan menyambungnya dengan ibadah. Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita semua. Amin.

*staff pengajar bahasa dan sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris

 

Related Post