Oleh Rizal Cahya
Suatu hari, ketika diselenggarakan ujian tengah semester di sekolah, ada salah satu siswa yang ditegur oleh guru lantaran tidak menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara di lingkungan sekolah. Siswa tersebut mengiyakan teguran itu. Akan tetapi ketika ia melanjutkan dialognya dengan guru tersebut, ia ‘keceplosan’ menggunakan bahasa daerah—Bahasa Jawa lebih tepatnya. Sontak guru yang ternyata mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia itu memarahinya dan menuduhnya tidak tahu aturan sopan santun. Mendengar perkataan guru itu, entah mengapa muncul sebuah keganjalan dalam hati dan pikiran saya; dalam hal apakah Bahasa Jawa yang diucapkan salah satu teman saya itu menjadi tidak sopan dalam pandangan guru Bahasa Indonesia saat itu?
Saya mencoba mengingat secara persis kata, kalimat, mimik, ekspresi dan semua yang dilakukan oleh teman saya ketika berbicara dengan guru saat itu. Namun, sampai saat ini saya tak menemukan penjelasan bahwa teman saya itu tidak sopan terhadap gurunya. Dengan memori yang terbatas, saya membaca bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan tidak sopan adalah penggunaan Bahasa Jawa yang diucapkan oleh teman saya—yang setelah saya tanya kepadanya adalah Bahasa Kromo Inggil dalam Jawa, terbalas dengan Bahasa Indonesia yang diucapkan oleh guru saya. Saya ingat-ingat kembali, memang guru tersebut tidak langsung marah saat itu. Beberapa kali dialog terjadi antara guru dan murid itu dengan dua bahasa yang berbeda. Nampaknya, guru saya masih cukup sabar pada awalnya, akan tetapi akhirnya ia jengkel juga pada akhirnya. Saya selidiki kembali permasalahan ini dengan bertanya ke sana ke mari dan saya temukan informasi bahwa guru Bahasa Indonesia itu ternyata berasal dari lingkungan Madura. Lantas saya kemudian curiga bahwa sebenarnya guru yang sengaja tidak saya sebutkan namanya di sini itu, kesal karena merasa diejek oleh muridnya sendiri. Itu kecurigaan pertama saya.
Namun, kecurigaan saya itu gugur sebab saya melihat dan mendengar penjelasan langsung dari guru tersebut. Saat itu, di waktu senggang saya mencoba memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada beliau. Berikut kira-kira penjelasan beliau yang saya dapat saya jabarkan.
Kemampuan berbahasa seringkali dianggap mencerminkan kesantunan seseorang. Orang yang lemah lembut dalam bertutur terlihat lebih santun. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dalam berkomunikasi, kita lebih memerhatikan bukan penampilan lawan kita dalam berkomunikasi tetapi olah tutur lawan kita ketika berbicara. Seburuk apapun penampilan seseorang bila yang bersangkutan akan tetapi ia mampu mengolah bahasa yang baik ketika bertutur, maka ia akan lebih mudah disukai oleh orang lain.
Orang yang sering berkata kasar akan membawa suatu anggapan bahwa orang tersebut sering bertindak kasardan sering menghalalkan segala cara. Demikian juga sebaliknya, orang yang cara bertuturnya tertata, runtut, dan lemah lembut pembawaannya, dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang mengerti sopan santun. Dalam berbahasa Indonesia pun demikian, walaupun tidak seperti di bahasa daerah kesantunan dalam berbahasa masih dapat kita amati baik itu melalui cara penyampaian maupun cara pemilihan katanya.
(baca juga: Rahasia Hujan)
Sebagaimana bahasa daerah,Bahasa Indonesia pun mempunyai kata kata yang dimaksudkan untuk lebih melembutkan pemaknaan agar tidak terkesan kasar bagi penerimanya. Misalnya, frasa “meninggal dunia” lebih sering digunakan untuk menggantikan kata mati atau wafat. Begitu pula kata “diamankan” lebih sering digunakan untuk menggantikan kata “ditangkap”. Kedua kata itu adalah dua contoh kecil penggunaan bahasa Indonesia yang sudah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks penggunaannya,dua contoh di atas bukan dimaksudkan untuk memanipulasi arti atau maksud dari pesan yang disampaikan namun semata-mata untuk lebih melembutkan kesan yang diterima oleh penerima pesan agar lebih tenang menyikapinya. Dapat kita bayangkan bagaimana perasaan seseorang yang diberitahu bahwa kerabatnya atau teman dekatnya telah mati dengan kata kata “ maaf istrimu telah mati “ tentu perasaan orang tersebut akan lebih campur aduk dalam menyikapi pesan yang disampaikan.Tentu akan lebih menyejukkan apabila pemberitahuan itu disampaikan dengan cara “ ibu dari anak anakmu telah meninggal dunia, kami turut berbela sungkawa”. Banyak contoh yang dapat kita amati baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui media elektronik) bahwa orang – orang yang terkenal santun perilakunya, dalam setiap penampilannya, hampir dipastikan akan selalu terlihat tenang cara bertutur katanya serta baik pemilihan katanya. Dalam berbahasa kita memang dituntut untuk berbahasa secara baik dan benar. Dalam konteks berbahasa yang baik iniliah somapn santun itu kita terapkan dalam berbahasa.
Salah satu contoh sederhana dalam kesantunan berbahasa dapat ditemukan dalam konteks penggunaan kata ganti untuk menyebut orang yang lebih tua, misalnya seorang guru. Sangat dianjurkan seorang murid atau siswa menyebut seorang guru dalam konteks kalimat dengan menyebut nama disertai panggilan “pak” atau “bu”. Misalnya, kalimat berikut, “Saya sudah menaruh buku tugas saya di meja Pak Zainal,” lebih sopan ketimbang, “Saya sudah menaruh buku tugas saya di meja Anda, Pak”. Meskipun dalam konteks percakapan lain, penggunaan kata “Anda” dinilai sopan, tetapi dalam konteks ini, kurang tepat digunakan.
Berkomunikasi/berbicara adalah suatu hal yang kita lakukan setiap hari dari waktu bangun tidur sampai tidur lagi. Tapi ada hal yang kadang kita lupa soal berbicara yang harus ada dalam kehidupan sehari hari, yaitu “ETIKA/SIKAP”. Dua hal tersebut sering kurang di perhatikan di masa sekarang ini, khususnya pemuda pemuda nanggung mulai dari siswa SMP sampai dengan siswa SMA yang kadang bicara asal asalan, tawuran, buat kelompok/gank yang sering membuat ulah dan kadang meresahkan masyarakat di sekitarnya yang orang bilang sedang mencari jati dirinya, padahal jati diri itu sudah ada yang kurang di perhatikan etika atau sikap yang jarang di pergunakan di masa pergaulan sekarang ini.
(baca juga: Gak Mau Sakit Saat Musim Hujan, Yuks Intip Tips Berikut)
Peran orang tua sebagai pendidik di lingkup masyarakat kecil atau keluarga, menjadikan sebuah keharmonisan keluarga sangat penting. Dalam hal inilah orang tua perlu memberi contoh mempergunakan etika/sikap/attitude sesuai dengan tempat di mana aturan masyarakat/adat berlaku. Hal itu dapat berupa bagaimana berbicara kepada yang lebih tua, sesama atau seumuran atau kepada yang lebih muda. Sepertinya cukup rumit jika hanya mengandalkan orang tua dalam mendidik etika, akan tetapi ada solusi lain yang dapat ditempuh untuk mendidik etika. Salah satu yang populer di Jawa Timur khususnya adalah pesantren. Dalam tradisi pesantren, sangat jelas bagaimana etika santri itu dibentuk sebaik mungkin dengan dasar konsep tawadhu (menghormati guru). Akan tetapi, kembali lagi pada logika awal tadi, kemampuan berbahasa tetap mencerminkan kesantunan seseorang.
Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu adalah figur terbaik yang tidak akan pernah terlupakan oleh anaknya sampai kapanpun, maka dari itu sebagai orang tua harus memberikan contoh yang terbaik kepada anak anaknya. Memang sebagai orang tua dalam hal ini manusia seutuhnya kesalahan pasti akan terjadi suatu waktu dan tidak akan terelakan, dan mempengarahi hal itu perlunya kedewasan ataupun kesadaran dan kesabaran dari para orang tua agar mendidik anak anaknya dengan penuh kasih sayang dan rasa tanggung jawab, sedikit saja kesalahan yang kita lakukan kepada anak anak kita itu akan membekas dan tercatat dalam pikirannya dan tidak akan terlupakan sampai kapanpun, itu dapat kita kurangi yaitu dengan penuh perjuangan dengan tujuan dan harapan agar anak kita menjadi figur yang bagus untuk keturunannya kelak dan banyak tambahan nasihat dari mulai kecil sampai anak anak dewasa bahwa contoh lah yang baik dan buang lah hal yang tidak baik. Dengan penekanan tersebut kepada anak anak kita secara tidak langsung akan tertanama kepada anak anak bahwa untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan masa depannya kelak.
Penulis adalah siswa SMK Nuris Jember. Saat ini penulis tinggal di lingkungan Pondok Pesantren Nuris Jember.