Nikah Paksa dalam Perspektif Fikih

Penulis: Holid Hasan*

Pernikahan, semua orang pasti mempunyai keinginan untuk menikah. Karena dengan pernikahan manusia bisa menyalurkan kebutuhan biologoisnya secara halal. Walaupun pernikahan bukan hanya tentang menyalurkan kebutuhan biologis, tapi tak dapat dipungkiri salah satu tujuan menikah adalah tentang itu.

Maka tak ayal, dalam memilih pasangan, biasanaya manusia cenderung pilah-pilih dan harus dilandaskan atas dasar cinta. Dengan berdalil atas rasa cinta, biasanya seseorang akan menolak jika dia harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Lalu bagaimana pernikahan yang dilakukan tanpa dasar atas rasa cinta, atau yang lebih kita kenal nikah secara paksa (tanpa persetujuan). Bolehkah nikah paksa dalam islam? Dan bagaimana persyaratannya?

Para fuqaha’ membagi perempuan dilihat dari boleh tidaknya dinikahkan secara paksa menjadi 2, yaitu perawan dan janda.

(Baca juga: Perspektif Ulama Tentang Cara Meminang)

Perawan ialah: orang yang belum hilang keperwanannya (belum pernah dijima’/ disetubuhi) baik jima’ nya melalui cara halal (pernikahan) atau haram (perzinahan).

Sedangkan janda ialah: orang yang sudah hilang keperwannanya (sudah dijima’) baik jima’ nya melalui jalan halal maupun haram.

Jadi, tolak ukur apakah perempuan itu dapat dikatan perawan atau janda ialah apakah dia sudah pernah bersetubuh atau tidak. So, jika ada wanita yang sudah tidak perawan, tapi penyebababnya bukan karena persetubuhan, semisal karena jatuh atau disebabkan oleh jari-jarinya sendiri, maka perempuan tersebut tetap tergolong dalam kategori perawan.

Soal pernikahan keduanya, ulama memberikan perlakuan yang berbeda pada dua kategori diatas, pertama kita akan membahas tentang perawan terlebih dahulu,,

Pada kasus perawan, ulama’ berbeda pendapat dalam hal apakah wanita yang masih perawan itu boleh dinikahkan secara paksa atau tidak.

Menurut imam abu hanifah perawan boleh dinikahkan secara paksa jikalau masih kecil (belum baligh), jika sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya secara paksa.

perlu digaris bawahi yang mempunyai hak paksa adalah walinya siperempuan yakni bapak atau kakeknya (jika bapak sudah tidak ada).

Menurut imam syafii wanita yang masih perawan boleh dinikahkan secara paksa baik wanita tersebut sudah baligh atau belum. Namun disunnahkan bagi ayah sigadis untuk meminta ijin terlebih dahulu ke anaknya, tapi perlu diingat hanya disunnahkan saja, hal ini tidak berdampak pada sah atau tidaknya akad nikah. Jadi buat para jomblo, jika engkau tak sanggup mengambil hati anaknya, maka ambil hati bapaknya,,, hehe, tak perlu kau pergi ke mbah dukun atau pakek semar mesem dan jaran goyang,,,, cukup dekati bapaknya, insyaallah kau kan dapatkan anaknya.

(Baca juga: Mengenal 7 Maqam dalam Tasawuf Abu Nasr as Sarrraj)

Perbedaan pendapat yang terjadi antara imam abu hanifah adan imam sfyafii dalam hak ijbar (nikah paksa) adalah apakah perempuan yang perwaan itu sudah baligh atau tidak. abu hanifah berpendapat jika sudah baligh tidak boleh dinikahkan secara paksa, sedangka imm syafi’I berpendapat perempuan yang masih perawan, baligh maupun tidak, boleh dinikahkan secara paksa.

Perbedaan pendapat diatas terjadi terjadi, karena menurut imam abu hanifah yang menjadi standarisasi diperbolehkannya ijbar adalah karena sifat ke kanak-kanakannya (belum baligh), sedangkan imam syafii yang menjadi tolak ukurnya ijbar adalah sifat keperawananya.

Buat para wanita jangan ketar ketir dulu ya,,, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar penikahan paksa itu bisa dilaksanakan dan sah secara agama. Jadi tak sembarang orang yang bisa menikah denganmu. Jikalau calonmu sudah memenuhi persyaratan-persyaratan yang akan disebutkan sebentar lagi, insyaallah dia orang yang pas untuk menyempernakan separuh agamamu.

sebagaimana yang dikemukakan oleh syeh abu bakar syatta dalam kitab nya ianatut thalibin ada 7 syarat yang harus dipenuhi, 4 syarat yang dapat mensahkan pernikahan, 3 syarat yang tidak berpengaruh pada keabsaan pernikahan, akan tetapi jika ditinggalkan walinya mendapatkan dosa.

Adapun 4 syarat tersebut adalah:
pertama, tidak ada permusuhan yang dhohir antara si wanita dan walinya (ayahnya)
Kedua, tidak ada permusuhan yang dhohir maupun batin antara si wanita dan calon suaminya
Ketiga, dinikahkan dengan orang yang se kufuk (selevel).
Keempat, Si calon suami harus orang yang mampu membayar mas kawin dengan mahar mitsil (senilai mahar atau lebih mahal dari mahar ibu sigadis), atau mampu membayar kontan mahar sigadis. (pada poin ini terjadi khilaf atau perbedaan pendapat)

Sedangkan 3 syarat selanjutnya adalah:
Pertama, calon suami membayar dengan menggunakan mahar mitsil
Kedua, mahar harus dengan valuta yang berlaku dinegara tersebut
Ketiga, mahar dibayarkan secara kontan.

Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwasanya dalam pernikahan secara paksa, tidak semerta merta dapat dilaksanakan secara brutal, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan kalau diperhatikan syarat-syarat diatas tujuannnya adalah untuk kebaikan si wanita itu sendiri. Lagi pula, tidak ada orang tua yang berkeinginan anaknya sengsara, dan memilihkan calon yang tidak sesuai dengan anaknya. Semua ayah pasti ingin memberikan calon yang terbeik untuk buah hatinya.

Sedangkan untuk perempuan yang sudah janda, tidak diperkenankan bagi walinya (ayah) menikahkan nya secara paksa (tanpa persetujuan). berdasarkan hadist riawayat darul qutni:

اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا صِمَاتُهَا

Ibaraot.

والثيب من زالت بكارتها بوطء حلال أو حرام. والبكر عكسها. فهي بكسر الباء من لم تزل بكارتها بوطء في قبولها بأن لم لم تزل بكارتها أصلا وإن وطئت كالغوراء، أو خلقت بلا بكارة، أو من زالت بكارتها بغير وطء كسقطة وشدة حيض ونحو أصبع. (حاشية البيجوري على فتح القريب الجزء الثاني ص 211)

فصل

وأما البكر الكبيرة فللأب أو للجد عِنْدَ فَقْدِ الْأَبِ أَنْ يُزَوِّجَهَا جَبْرًا كَالصَّغِيرَةِ، وَإِنَّمَا يَسْتَأْذِنُهَا عَلَى اسْتِطَابَةِ النَّفْسِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا فِي جَوَازِ الْعَقْدِ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ. وَقَالَ أبو حنيفة: لَيْسَ لِلْأَبِ إِجْبَارُ الْبِكْرِ الْبَالِغِ على العقد إِلَّا عَنْ إِذْنٍ. وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ، فجعل الإجبار معتبراً بالصغيرة دون البكارة، وجعل الشافعي الإجبار معتبراً بالبكارة دون الصغر. [الماوردي ,الحاوي الكبير ,9/52]

والحاصل) الشروط سبعة: أربعة للصحة – وهي التي تقدمت – أن لا يكون بينها وبين وليها عداوة ظاهرة، ولا بينها وبين الزوج عداوة وإن لم تكن ظاهرة، وأن تزوج من كفء، وأن يكون موسرا بمهر المثل أو بحال الصداق على الخلاف. فمتى فقد شرط منها كان النكاح باطلا إن لم تأذن. وثلاث لجواز المباشرة، وهي كونه بمهر المثل، ومن نقد البلد، وكونه حالا. [البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,3/354]

Sumber gambar: muslimpintar.com

Penulis merupakan staf pengajar BMK di MTs Unggulan Nuris Jember

Related Post