Penulis: Alfin Selfiana
Peran Ibu dalam Islam begitu mulia, karena dari rahim beliaulah banyak sekali pemimpin yang berhasil. Yang paling terkenal adalah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Bahkan Nabi pun bersabda, “Surga terletak di bawah telapak kaki ibu.” . Karena terkenalnya hadis ini, sosok Ibu menjadi tokoh yang banyak dikagumi oleh anak-anaknya. Sebagai wujud apresiasi, di Indonesia sendiri, diperingati secara khusus pada setiap tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Inilah fakta kelebihan ibu dibanding bapak karena di Indonesia tidak mengenal “Hari Bapak” (tanpa mengesampingkan peran sosok bapak).
Kemuliaan Ibu memang sudah dikenal sejak zaman dulu. Setelah Allah menurunkan Adam dan Hawa ke bumi, kemuliaan sosok ibu terpancar dari Hawa terutama dari keajaibannya bisa mengeluarkan air susu buat anak-anaknya. Kini kita mengenalnya sebagai Air Susu Ibu [ASI]. Tak dipungkiri lagi, faedah ASI sampai detik ini pun tetap nomor satu bagi pertumbuhan anak. Itu secara fisik. Sedangkan secara psikologis, dari dulu Ibu adalah sosok yang dipercaya memiliki intuisi tajam dalam merawat anak. Intuisi ini bahkan seringkali bersifat spiritual. Misalnya, perihal izin dan restu.
Dalam Islam, seseorang yang melakukan sesuatu atas izin dan restu dari Ibu adalah kepatuhan yang bisa berdampak baik di mata Allah. Tak heran dalam sebuah riwayat, Nabi sempat menghadapi pengikutnya yang menanyakan izin dari Ibu ketika hendak berperang. Seorang lelaki muda meminta saran kepada Nabi dan berkata, “Wahai Nabi Allah, saya ingin sekali pergi ke medan jihad untuk kemajuan Islam. Namun Ibuku tidak memberiku izin. Apa yang harus saya lakukan?” Nabi pun menjawabnya, “Tinggalah bersama Ibumu. Demi Tuhan yang memilih saya sebagai Nabi bahwa kamu mendapatkan pahala untuk mengikuti keinginannya walau semalam dan membahagiakannya dengan kehadiranmu, jauh lebih besar ketimbang perang jihad selama satu tahun.”
Kisah tersebut adalah bagian kecil dari sekian banyak Islam memuliakan sosok Ibu. Namun, seringkali kita dengar bahwa eksistensi Ibu dalam ranah kekuasaan seringkali masih di bawah bayang-bayang superioritas Bapak/Ayah sebagai pemimpin keluarga. Ini meluas juga dari sisi gender bahwa kekuasaan kaum perempuan lebih terbatas ketimbang laki-laki terutama dalam lingkup publik.
(baca juga: Bagaimana Cara Mengejar Impian?)
Memang perjuangan wanita untuk memperoleh hak-haknya, terutama dalam konteks kepemimpinan memerlukan waktu beradab-abad. Kelirunya, banyak beberapa kalangan menyebut Islam sebagai penghalang untuk memperolah hak-hak yang setara dengan pria. Padahal masalah tersebut muncul bukan dari ajaran Islam, tetapi dari adat istiadat yang konservatif pada zaman dulu. Justru dalam Islam, sosok ibu atau perempuan mendapatkan tempat terhormat dan setara dengan kaum laki-laki. Kalaupun dalam ajaran Islam disebutkan bahwa lelaki adalah pemimpin dalam keluarga, itu hanya bersifat nisbi untuk menghindari dualisme kepemimpinan.
Kesetaraan perempuan dan laki-laki sebenarnya jelas disebutkan dalam al-Qur’an surat An-Nisâ’ [4] ayat 1, “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan kekeluargaan [tali rahim].”
Jika merujuk surat dan ayat tersebut, jadinya seperti mengada-ngada bahwa perempuan dan lelaki tidak setara karena ajaran Islam. Toh, secara global pun Islam mengakui pemimpin-pemimpin perempuan dari beberapa negara dan sampai sekarang hampir tak ada yang ditentangnya secara ekstrim. Umat Islam ikut bangga dengan kepemimpinan Benazir Bhutto di Pakistan. Di Indonesia sendiri kita mengakui kepemimpinan Cut Nyak Dhien dalam Perang Aceh. Jadi, adakah yang salah dengan itu?
Dalam perspektif modern, sosok Ibu sebagai pemimpin bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam mengurus rumahtangga dan anaknya secara sendiri. Di Indonesia, kita mengenalnya dengan istilah orangtua tunggal atau single parent. Banyak sudah para ibu menjalani status single parent. Bahkan di antaranya berhasil mendewasakan anaknya sampai sukses.
(baca juga: Hijabku Mahkotaku)
Di Indonesia, ada dua teladan Ibu yang perlu kita ketahui bahwa kepemimpinan ibu dalam berbeda dengan kemimpinan ayah. Dua Ibu ini adalah Bunda Iffet, ibunda Bimbim, [personil grup Slank] dan Titi Qadarsih, ibunda Indra Qadarsih [musisi]. Kebetulan Bunda Iffet dan Titi Qadarsih punya pengalaman yang sama dalam menghadapi anaknya. Mereka sempat dilanda cobaan ketika anak-anaknya terjerat narkoba. Padahal Bunda Iffet dan Titi Qadarsih saat itu sudah ditinggal wafat suaminya. Namun dengan ketelatenan dan kesabaran penuh kasih sayang, Bunda Iffet dan Titi Qadarsih bisa memulihkan anak-anaknya menjadi sehat kembali. Inilah perpaduan yang sukses dari seorang ibu; kepemimpinan dan kasih sayang.
Jadi, apalagi yang harus diragukan dari kemuliaan seorang ibu sebagai pemimpin dan sebagai pemberi kasih? Dalam konteks kepemimpinan keluarga dan golongan, sosok ibu atau perempuan sempat digambarkan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Emha menganologikan perempuan adalah pengembala yang selalu berada di belakang itik-itiknya. Ini artinya, perempuan atau ibu bisa jadi sosok penunjuk jalan menuju kebenaran. Selain itu Emha pun sempat berkelakar soal perempuan dalam shalat jamaah. “Mengapa perempuan kalau salat berjamaah tak pernah jadi imam kalau ada lelaki? Kalau perempuan yang jadi imam, kemungkinan salat lelaki tidak akan khusyu’ saat ruku. Matanya akan melihat sesuatu yang bisa membatalkan salat”.
Penulis merupakan siswa SMA Nuris Jember kelas XB. Penulis aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net