Kotak Cinta dari Sang Mursyid

Kotak Cinta dari Sang Mursyid

Oleh: Robith Qoshidi

 

Rambut pirang itu serupa kilau senja yang memancar dari hamparan danau di depannya. Tergerai melambai ke kanan dan ke kiri. Bergerak mengikuti angin yang lumayan kencang di satu senja pukul lima. Dedaunan terhempas dan beberapa lembar menabrak seonggok tubuh yang duduk di tepian danau itu. Pandangannya tajam menusuk danau, sesekali membelah langit. Gadis ayu itu sudah lima jam membisu, tak bergeming, tak bergerak, membatu. Sampai satu bunga hinggap di rambutnya. Ia julurkan tangan kanan ke atas kepalanya meraih bunga, dipandanginya dalam-dalam lalu mendesis, “Bunga, pernahkah kau jatuh cinta?”

Akhirnya keluar juga suara dari bibir mungil nan tipisnya setelah sekian lama. Tapi ia masih enggan meninggalkan tempat terindah untuk menumpahkan segala duka. Ya, ya tepi danau Ozamburk. Teman terelok pelepas lara, sahabat setia di kala derita. Entah berapa cerita yang telah ia tumpahkan pada danau berbentuk elips itu. Dan seperti biasa kalau lagi sedih, ia biasanya mengadakan ‘ritual’ menyatu dengan alam. Cukup duduk di tepi danau itu dan menghayal menjadi angin, menjadi pohon, menjadi awan, menjadi bintang, atau bersayap seperti burung, terbang bebas di angkasa menembus awan. Dengan itu hati Shopia menjadi damai.

kotak-cinta-sang-mursyid-2

Ia memang suka menyendiri sejak pertemuannya dengan seseorang. Shopia adalah pendatang dari Athena, Yunani. Sekarang ia tinggal di rumah pamannya di ibu kota dinasti Ottoman, Istanbul. Tahun 1897 adalah tahun dimana Yunani, Bulgaria, Armenia, dan daerah-daerah lainnya hendak melepaskan diri dari kekuasaan Ottoman. Kekacauan dan pemberontakan dimana-mana. Shopia mempunyai paman di Istanbul yang juga beragama Kristen Ortodok. Orang tuanya menginginkan anaknya menjadi biarawati yang taat, maka dikirimlah Shopia ke Istanbul yang mengantarkannya pada derita cinta seorang dara.

(Baca Juga: Aku Menyayangimu Diam-Diam)

***

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” suara adzan berkumandang. Hati Shopia gembira. Bukan karena adzan, namun biasanya orang akan berlalu lalang di tepi danau itu menjelang maghrib, karena danau itu adalah tempat yang memisahkan masjid dan rumah penduduk. Jika ingin ke masjid mereka pasti lewat sini, tak terkecuali orang itu. Pasti ia lewat sebentar lagi, Shopia berdiri mendekati permukaan danau, ia berkaca merapikan rambutnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan orang yang mulai bermunculan menuju masjid. Yang ditunggu tak muncul-muncul. Padahal dari tadi ia mengucapkan hai berkali-kali dengan suara yang lembut dan dibikin-bikin, berlatih untuk diucapkan saat ketemu orang itu.

Gelap hampir menggusur langit jingga, solat sudah dilaksanakan, masyarakat pulang ke rumah masing-masing. Namun yang ditunggu belum datang.

“Ah, aku benci sama dia. Siapa yang jatuh cinta sama dia?” desis Shopia sambil merobek-robek dedaunan yang ia pegang, “Benci, benci, benciiiiiiiiiiiiii…”

“Benci sama siapa, Sofi?”  tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara agung nan karismatik. Shopia kenal suara itu, hanya dia yang memanggilnya Sofi. Dengan malu-malu Shopia membalikkan badan.

“Eh, Midat. Apa kabar? Sudah solat?”  kalimat ‘hai’ berubah menjadi ‘eh’ karena kaget.

“Aku kan yang mengimami solat barusan. Kamu ngapain di sini? Wajah kamu kusut banget? Sudah maem?”

Shopia menggeleng. Pria ganteng yang ada di depannya ialah Midat Pasha. Ia berumur 33 tahun namun sangat dihormati masyarakat karena ilmunya yang luas. Ia suka menolong orang. Di samping itu ia adalah mursyid tarekat Maulawi di Istanbul. Shopia pun sering mengikuti majlisnya. Memang dalam majlis itu bukan hanya orang Islam, banyak sekali para salikin yang non muslim, yang tidak berkerudung pun banyak. Pemandangan yang wajar sejak dirintisnya tarekat ini oleh Jalaluddin ar-Rumi.

Setelah sejenak berpikir Shopia memutuskan untuk bicara. “Midat, Aku mau ngomong sama kamu, tapi…”

“Tapi apa? Ngomong aja. Emang ada apa koq kelihatannya serius gitu? Ayo, ngomong saya dengerin.”

“Haaah…” Shopia menghembuskan nafas.

“Ayo duduk biar enak ngomongnya…” Midat menghamparkan sajadah dengan hiasan khas Turki yang sedari tadi menempel di pundaknya. “Ayo duduk!”

“Gak usah, gak usah. Enakan berdiri. Aku hanya ingin nanya sama kamu. Mmmm….”

“Mau nanya apa?” suara Midat begitu lembut dan menyentuh.

“Jangan marah, ya?”

“Iya… Ayo saya buka telinga saya.”

“Midat sudah punya……”

“Punya apa? Punya kucing?”

“Iiih, Midat. Koq kucing sih?”

“Habis punya apa dong?” tanyanya dengan suara yang halus.

“…istri.”

Angin mendesir, dua insan terdiam. Hati Shopia menggejolak deg-degan menunggu jawaban. Midat tersenyum. Shopia merengut.

“Jawab dong! Midat marah ya?”‘

“Ya nggak lah. Shopia yang cantik udah punya pacar kan?”

“Nggak, nggak, nggak,” jawab Shopia bersemangat. Midat hanya tersenyum melihat semangat Shopia.

“Shopia, Midat setiap hari ditemani oleh istri yang setia. Istri yang menentramkan hati. Yang menyejukkan. Yang…” belum selesai Midat bicara Shopia memotongnya.

“Ooo, begitu. Shopia cuma mau nanya doang koq. Hari udah malam nih. Oia, ntar setelah Isya’ Shopia langsung ke rumah Midat ya. Malam Jum’at ada majlis dzikir kan. Shopia belum mandi nih. Shopia mau mandi lalu ke sana. Shopia pulang dulu ya. Daaa.” Shopia terluka. Hatinya menangis perih. Sakit sekali mendengar kalimat ‘istri’ yang terucap dari mulut Midat. Namun ia berusaha menyimpan perasaan itu.

Midat tersenyum memandangi gadis berhidung mancung itu, “Shopia tunggu!! Ini Midat punya sesuatu untuk Shopia.” Midat mengeluarkan kotak biru kecil dari jubahnya. Di sisinya berhias nama Allah dan Muhammad. “Jangan dibuka dulu sebelum jam dua belas malam. Ingat ya!”

Seperti diberi nafas baru, Shopia sumringah. “Ini apa?” tanyanya dengan suara yang sangat feminim.

“Ada dech. Semoga kamu suka. Tapi jangan dibuka sampai nanti malam.”

“Ok, Syeikh.”

***

 

Ratusan laki-laki dan perempuan menyemut di lapangan depan rumah Midat. Pria di kanan, wanita di kiri, dipisah sebuah kain pemisah. Bulan menyinari. Obor berapi mengelilingi empat sudut lingkaran suci. Midat duduk persis di depan kain pemisah. beralaskan permadani yang menyelimuti lapangan.

“Saat mengucapkan lafal Allah jangan bernafas. Baru setelah mengucapkan lafal ‘hu’ hembuskan nafas,” suara agung itu memimpin majlis dzikir. Siapa lagi kalau bukan Midat. “Mari sama-sama!!”

“Allah… Allah… Allah…” serentak ratusan itu menyuarakan kalimat itu dengan tanpa menarik nafas di sela-selanya.

“Hu… hu… hu…” semua mengeluarkan nafas. Hawa nafas dengan macam-macam bau melebur menjadi satu. Hati para makmum pun ikut menyatu menuju Allah. Hanya Allah yang ada di pikiran mereka, kecuali beberapa orang yang tak khusu’.

Brak.. brak.. brak… suara alas kaki mendekati majlis. Melewati gerombolan menuju barisan terdepan tanpa canggung. Seorang gadis ayu berkerudung dengan kotak biru di tangan menatap Midat. Wajahnya yang memelas itu seakan ingin mengatakan sesuatu, “maafkan aku terlambat.”. Tanpa menghentikan dzikirnya Midat membuka mata yang sedari tadi terpejam. Ia tersenyum melihat kerudung dan kotak biru itu. Ia menganggukkan kepala isyarat untuk duduk. Dengan nafas terengah-engah gadis itu membalas dengan anggukan. Para salikin tetap khusu’ mengikuti alur dzikir, tak terganggu. Tarekat dijalani dengan khidmat. Dan setelah mendengarkan ceramah Midat para salikin mencium tangan Midat bolak-balik kemudian pulang ke rumah masing-masing dengan tenang. Hingga sepi mengepung rumah Midat.

***

 

“Shopia udah berpikir seribu kali untuk hal ini, sampai Shopia datang terlambat ke majlis. Shopia tulus dan menginginkannya,” tegas Shopia.

“Alhamdulillah… ikuti Midat, ya!! Asyhadu alla ilaha illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadan Rosulallah.”

“Asyhadu Alla ilaha Illa Allah Wa asyhadu anna Muhammadan Rosulallah.”

“Alhamdulillah, semoga Shopia menjadi muslimah yang sholehah ya. Amin.”

“Midat kurang sepuluh menit lagi.”

“Apa?”

“Shopia boleh membuka kotak biru ini.”

Midat tersenyum tenang.

“Midat, Shopia boleh menyampaikan sesuatu, nggak?”

“Silahkan,” jawab Midat dengan tenang.

Hati Shopia dag-dig-dug. Sepertinya kata-kata yang sudah dipersiapkan dan sudah dilatih sedari tadi entah kenapa jadi berat untuk diucapkan di hadapan Midat. Tapi Shopia harus berusaha, katanya dalam hati. Shopia tak bisa membohongi perasaan ini.

“Mau ngomong apa Shopia?” tanya Midat lembut.

Shopia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menghembuskannya lagi. Ia tarik nafas lagi kemudian dihembuskannya lagi.

“Midat… Ah Shopia malu.”

“Katakan saja! Jangan malu, seorang muslimah harus tegar.”

Shopia mengangkat kedua tangan hingga menutupi paras ayunya, “Midat… Ben seni seviyurum,” Shopia tak kuasa menahan tangis yang mengalir di wajahnya. Malu, takut, sedih, plong, khawatir, deg-degan bercampur menjadi satu.

kotak-cinta-mursyid-3

“Apa Shopia. Coba ulangi lagi?”

Shopia memberanikan diri menatap Midat, “Aku… cinta… kamu… aku tak bisa membohongi perasaanku padamu. Sejak pertama kali bertemu denganmu aku merasa tak ada jalan lain kecuali mencintaimu. Aku selalu memikirkanmu…”

“Sudah?”

“Belum!! Midat, aku masuk Islam bukan untuk merebut hatimu memang aku tertarik dengan ajaran Islam, seperti yang telah kau ajarkan padaku. Dan meskipun kamu punya istri,” Midat mengerutkan dahinya, “aku rela kau madu. Tidak apa-apa, asalkan aku boleh bersamamu. Aku tak tentram jika tak di sampingmu. Setiap malam wajahmu selalu…”

Midat menaruh surban di bibir Shopia agar ia berhenti bicara. Shopia menyingkirkan surban itu, “…menghantuiku. Midat terimalah aku jadi istrimu. Istri keempat, kelima, kesebelas, kedua puluh, terserah, yang penting aku bisa hidup denganmu. Aku cinta banget sama kamu… Midat, hik, hik hik, aku nangis tahu..hik, hik..”

Midat menghapus air mata yang mengalir deras dari wajah elok Shopia, “Sudah dong, jangan nagis begitu. Seorang muslimah itu harus tegar.” Shopia segera menghapus air matanya dan menganggukkan kepalanya. Ia menarik ingus yang terlanjur keluar dari hidungnya.

“Shopia, dengar ya! Midat belum punya istri. Istri yang Midat maksud tadi sore itu adalah al-Quran yang selalu menemani Midat setiap hari.”

“Huh, dasar,” Shopia pura-pura mengeluh padahal hatinya bahagia sekali, ia memukul bahu Midat. Pria itu sedikit mengelak.

“Lagian tadi kamu gak mau mendengarkan Midat, malah buru-buru pergi aja.” Shopia tersenyum bahagia seraya menghapus kedua mata yang tak berair lagi itu.

“Terus…”

“Setiap manusia diciptakan berpasangan,” goda Midat.

“Terus…”

“Dan menikah itu sunah nabi.”

“Terus…” tanya Shopia semangat.

“Terus apa? Jangan terus-terus entar nabrak tembok.”

He he he he. Mereka berdua tertawa.

“Shopia, sudah jam dua belas. Kamu boleh buka kotak itu. Sini Midat yang buka. Kamu tutup mata ya! Jangan ngintip. Awas kalau ngintip!”

Shopia menganggukkan kepala keras-keras, lalu menutup matanya dengan kedua tangan. Midat membukakan kotak itu.

“Apa sich isinya?”

“Gak sabaran sich. Entar kamu tahu. Udah sekarang buka matanya.”

“Cincin? Midat suka sama Shopia? Tahu begitu Shopia gak ngomong duluan.”

“Ya udah cincinnya Midat ambil lagi,” Midat berdiri sambil menjulurkan tangannya ke atas agar tak terjangkau oleh Shopia.

“Nggak mau. Nggak mau. Nggak mau. Midat sini cincinnya,” Shopia pun beranjak berdiri meraih-raih tangan Midat.

“Ambil aja kalau bisa!”

Shopia terus berusaha mengambil cincin itu. Mereka bercanda gembira. Hingga bunyi jam antik sebesar lemari di ruang tamu itu berdetak satu kali. Mengingatkan mereka berdua pada rumah Shopia dan pamannya yang pendeta itu, Santo Ignatius.

(Baca Juga: Antri Melamar)

Related Post